Jumat, 18 Juli 2008

Pesan Apartemen di CBD Pulit

Pertama dengan cicilan pakai uang muka 30 persen. Tawaran kedua cicilan tanpa uang muka yang dicicil 60 kali selama lima tahun. Kemudian dijanjikan akan dilakukan serah terima kunci unit bulan April 2007.

Pada 29 November 2006 saya bertemu dengan Ibu Lily, eksekutif penjualan CBD Pluit (PT Griya Emas Sejati). Saya ditawari untuk mengambil satu unit apartemen di CBD Pluit, Jakarta Utara, yang waktu itu menawarkan dua cara.

Saya tertarik tawaran kedua dan mencicil setiap bulan sebesar Rp 11.575.000 via transfer. Pada Mei 2007 saya menagih janji Ibu Lily yang akan menyerahkan kunci unit apartemen yang saya pesan (Unit Cemara di Lantai 9 unit 9 BH). Namun, ketika saya datang ke kantor PT Griya Emas Sejati di Jalan Pluit Selatan Raya, Jakarta Utara, untuk mengambil kunci unit, ternyata apa yang saya harapkan tidak sesuai dengan janji pihak CBD Pluit.

Jawaban yang saya peroleh, kunci tidak dapat diserahkan sebelum cicilan mencapai 30 persen dari harga unit tersebut, atau sekitar Rp 200 juta. Waktu itu sempat terjadi perdebatan karena tidak sesuai dengan perjanjian awal. Namun, tetap kunci apartemen untuk unit yang saya pesan tidak diberikan. Saya dibohongi dan dijebak oleh PT Griya Emas Sejati.

Saat menawarkan tidak pernah mengatakan bahwa cicilan harus mencapai 30 persen dari harga unit. Karena tak ada kesepakatan dan saya merasa sudah dibohongi, akhirnya saya berniat untuk menarik uang kembali. Apalagi, uang saya yang sudah masuk ke rekening PT Griya Emas Sejati sebesar Rp 81 juta. Uang bisa dikembalikan, tetapi tidak utuh. Setelah dipotong berbagai biaya, uang yang bisa dikembalikan sebesar Rp 36 juta.

Monalisa Siregar Villa Ilhami E-2/59, Cibodas,




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Apartemen Bersubsidi Tidak Tepat Sasaran

Program pemerintah (Presiden SBY) "Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Apartemen Bersubsidi Pemerintah Seribu Tower" sangat tepat untuk wilayah Jakarta yang banyak didominasi oleh kaum urban dan golongan ekonomi menengah ke bawah. Juga demi keindahan kota seperti yang sudah diperlihatkan Singapura dan Hongkong dengan rumah susunnya.

Pertanyaan saya, apakah target pasar untuk segmen itu dapat dijamin tepat sasaran? Apa batasannya sehingga kalangan eksekutif/ekspatriat ke atas tidak boleh membeli "apartemen murah" itu? Bukankah menurut ukuran kantong mereka, mereka dapat membeli kemudian menjadikannya aset investasi untuk di kemudian hari disewakan?

Kalau Pemprov DKI tidak membuat peraturan yang jelas dan tegas, pasti kalangan menengah ke bawah tidak akan mendapat fasilitas/stok yang memang dikhususkan untuk mereka sebab semua unit pasti sudah habis diborong oleh kalangan atas/borjuis. Agar tepat sasaran, Pemprov DKI beserta pihak pengembang bekerja sama dengan perusahaan atau instansi terkait menawarkan ke perusahaan/ instansi yang ada di Jakarta dan mengutamakan pekerja yang belum memiliki rumah dengan menyebarkan surat edaran resmi.

Semoga niat baik pemerintah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan harapan menuju Indonesia yang adil, makmur, dan bersahaja serta kesejahteraan yang merata dalam strata sosial masyarakat.

Abdillah Hanafi Aneka Elok Blok O, Cakung, Jakarta Timur




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

CBD Pluit Ingkar Janji


Pada 24 November 2005 saya memesan satu kondominium di CBD Pluit,
Jakarta Utara, dengan sistem pembayaran tunai keras dan pada hari yang
sama saya membayar booking fee sebagai tanda jadi pemesanan. Sesuai
perjanjian, satu bulan kemudian (22 Desember 2005), saya melunasi sisa
pembayaran dengan cara transfer melalui BCA ke rekening yang ditunjuk.

Menurut
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang ditandatangani oleh saya
dan pihak CBD Pluit dituliskan bahwa serah terima unit akan
dilaksanakan pada bulan Januari 2007. Menurut PPJB Pasal 5 Ayat 2C ii
disebutkan bahwa apabila pihak CBD Pluit tidak berhasil melakukan serah
terima pada waktu yang telah ditentukan, saya berhak menerima denda
sebesar 1 per mil per hari atau maksimal 3 persen dari jumlah harga
pengikatan.

Pada Februari 2007 saya menghubungi pihak CBD Pluit
untuk menanyakan masalah ini, tetapi dijelaskan ada tenggang enam bulan
sejak waktu yang disebutkan pada PPJB. Itu artinya, menurut pihak CBD
Pluit, mereka masih memiliki waktu hingga Juli 2007 untuk bisa serah
terima unit tanpa dikenai denda. Kenyataannya, saya baru menerima surat
panggilan untuk serah terima pada tanggal 14 September 2007.

Itu
artinya pihak CBD Pluit tetap terlambat dan saya masih berhak atas
denda tersebut. Pada tanggal 11 Mei 2008 saya sudah mengirimkan surat
kepada pihak CBD Pluit perihal masalah tersebut dan dijanjikan saya
akan dihubungi pihak CBD Pluit. Namun, sampai hari ini saya belum
dihubungi, baik melalui surat maupun telepon. Padahal, mengenai denda
tersebut saya tidak pernah memintanya dan sesuai perjanjian yang dib


Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Denda Pengembang Rusunami

Pada tanggal 17 Januari 2008, saya membeli Rusunami Gading Nias melalui KPA subsidi (unit J/03/JL) dan dijelaskan, apabila KPA subsidi tidak disetujui boleh pindah ke nonsubsidi. Namun, apabila tidak disetujui juga boleh pindah ke cara bayar kontan bertahap tanpa dijelaskan apabila prosesnya makan waktu lama maka saya yang menanggung dendanya.

Dari awal hingga hampir membayar uang tanda jadi ketiga (24 Maret 2008) saya belum pernah dihubungi pihak bank maupun pengembang.

Tanggal 8 Maret 2008, saya menghubungi bagian marketing dan dijelaskan harus segera melengkapi syarat administrasi KPA. Padahal, dari awal saya tidak diarahkan bagaimana proses KPA. KPA subsidi saya ditolak oleh BTN per tanggal 25 April 2008, kemudian saya ajukan lagi ke BII dan Permata pada tanggal 28 April 2008. KPA BII saya diterima pada akhir Mei 2008, tetapi saya berharap kepada KPA Permata. Namun, pengembang mendesak segera diadakan akad kredit KPA dengan BII.

Pada tanggal 18 Juni, saya menghubungi pengembang dan BII yang intinya meminta diadakan akad kredit. Rupanya mulai muncul denda yang dihitung mulai tanggal 24 April 2008 sampai dengan Juni 2008 sebesar Rp 11 juta dan pengembang menurunkan denda menjadi Rp 4,3 juta. Tentu saya keberatan dengan denda tersebut karena pada intinya saya tidak membatalkan pesanan dan jika dari awal diarahkan prosesnya, saya tidak akan mengalami hal ini. Namun, denda itu sudah final dan harus dibayar.

LASUARDI THAM Jalan Langgar Nomor 9, Tambora, Jakarta




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Apartment tenants protest over huge service charge


9 01 2006

The Jakarta Post, Monday, January 9, 2006

Banners written in Bahasa Indonesia, English and Japanese intermingled as the owners and tenants of units in the upscale Bumimas Apartment complex in Cilandak Barat, South Jakarta, came together for a peaceful rally at the entrance to the complex on Saturday.

The group — representing 125 occupants, many of whom are Japanese and Koreans — accused the management of the Bumimas Apartment, PT Bumimas Megah Prima (BMP), of unfair business practices.

The occupants allege that the management had delayed the establishment of a Tenants Association, had unilaterally increased the service charge, and denied strata-title owners equal treatment with the tenants of Bumimas's serviced apartments.

The Bumimas Apartment complex, originally called Hilltop Apartments, was constructed in 1994, with Djadjang Tanuwidjaja, PT Inti Tacon and the Sinar Mas Group listed as shareholders.

Former PT BMP marketing manager Hubert Sadeli — who now owns one of the apartments and joined the protest against his former employers — said that initially the company built two towers and 358 apartment units, but some of the apartments were later merged so that currently Bumimas had 325 apartments.

The apartments were initially sold on a strata-title basis, but when the complex was finished in the midst of the Asian economic crisis in 1997, only 125 units were actually sold. The rest were later leased out as serviced apartments.

According to Governmental Regulation No. 4/1988 on apartment developments, the establishment of an apartment development must be quickly followed by the formation of a Tenants Association, with the executives of the association being elected by its members.

"But it was only after seven years that PT BMP agreed to establish a tenants association, and its executives were never approved by us," said a representative of the protesting strata-title owners, Ibnu Tadji H. Nurwendo.

PT BMP's legal affairs manager Syamsoel, Arief Akbar, denied the allegation, however, saying that the formation of the Tenants Association had been done in accordance with the law and in full cooperation with all the tenants.

A tenants association in an apartment complex functions much like the community and neighborhood units in housing areas, and it is a legal entity under Law No. 16/1985 on apartment developments.

Ibnu said that one of a tenants association's functions was to determine a service charge that was acceptable to the tenants.

According to the tenants of Bumimas Apartment, they had never been consulted about the size of the service charge.

As of November, PT BMP increased the monthly service charge to US$1.85 per square meter from $1.50 per square meter previously.

For Ibnu, this means paying between $150 and $240 per month on the service charge alone. By comparison, Nuansa Hijau Apartment in nearby Pondok Indah only charges tenants Rp 6,500 (about US$0.6 8) per square meter per month.

"We never know where that money goes to because the management never shows us its financial reports, and until it does we are refusing to pay the service charge," said Ibnu, who has had the electricity cut off in his apartment for defaulting on his service charge payments since 1999.

Legal affairs manager Syamsoel said that the management had decided to levy the service charge in U.S. dollars as the dollar was more stable than the volatile rupiah.

"I am not authorized to talk about the company's financial reports," he added.

Another grievance of the tenants was that instead of subscribing to full-range local cable TV, PT BMP instead subscribed to Japan's NHK World Premium channel, which it subscribed exclusively to its serviced apartment tenants.

The protesters said that they would continue their protest until the management backed down.

"I gave in once, but I will not give in again. I simply won't pay the increased service charge even if they turn off my electricity and water," Hubert said.



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Hadiah Royal Mediterania Garden

Hadiah Royal Mediterania Garden

Tanggal 21 Maret 2008 saya melakukan pemesanan untuk pembelian satu unit apartemen Royal Mediterania Garden (RMG) Tower Marigold, Jakarta. Tertulis jelas di spanduk promosi dan janji marketing (Saudari Dixi Pratiwi) akan mendapatkan hadiah langsung hand phone CDMA untuk pembelian unit apartemen. Hal ini ditegaskan kembali oleh Saudara Munadji, sales supervisor, bahwa hadiah hand phone hanya untuk pembelian unit dengan pembayaran tunai keras.

Oleh karena itu, saya melakukan transaksi pelunasan tertanggal 27 Maret 2008 dengan harapan mendapatkan hadiah dimaksud. Namun, setiap kali ditagih, begitu banyak alasan. Belum dapat tanda tangan dari pimpinan, bagian keuangan belum mengeluarkan hadiah, sedang ada pergantian pimpinan sehingga pemberian hadiah tertunda, dan lain-lain. Sudah lewat dua bulan, tetapi masih saja jawaban "sabar" yang saya terima.

Sebenarnya bukan masalah hand phone CDMA yang harganya tidak seberapa, tetapi janji dan komitmen yang saya tuntut. Saya sarankan bagi calon pembeli RMG memastikan apakah memang ada hadiah langsung atau akal-akalan pengembang untuk menarik minat calon pembeli.

Bagaimana ini PT Tiara Metropolitan Jaya (Agung Podomoro Group), berapa bulan lagi saya harus bersabar untuk menunggu hadiah langsung?

Richky Wibowo Puri Kembangan RT 005 RW 008, Kembangan, Jakarta




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Rusunami tak capai sasaran

Orang mampu yang tamak, cap ini rasanya tepat diberikan kepada kalangan
berpunya di Jakarta yang menyerbu rumah susun sederhana milik (rusunami)
bersubsidi. Lihat saja pameran properti yang digelar baru-baru ini di Ibu Kota.
Yang datang naik kendaraan umum atau sepeda motor malah bisa dihitung dengan
jari. Lahan parkir gedung pameran penuh dengan mobil-mobil baru-beberapa di
antaranya tergolong mobil mewah.
Bagi orang-orang itu, uang muka (down payment) Rp1 juta sampai Rp3 juta
bukan persoalan. Mereka meninggalkan ruang pameran dengan setumpuk brosur dan
juga kuitansi pembayaran uang muka.

Mereka datang, lihat, bayar... Tidak sedikit di antara mereka yang
membayar untuk beberapa unit yang tersebar di sejumlah rusunami.

Yang menjadi incaran adalah rusunami bersubsidi di kawasan perkantoran
atau perdagangan dengan prospek bagus untuk ditinggali (disewakan atau
diperjualbelikan) dan berbisnis. Itulah sebabnya rusunami Gading Nias, Kebagusan
City, dan Kalimalang Residences, laku keras.

Gairah orang mampu membeli rusunami tidak terlepas dari gerakan kembali ke
Jakarta. Tingginya harga bahan bakar kendaraan dan kemacetan lalu lintas yang
parah di hampir semua ruas jalan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Depok
membuat orang mempertimbangkan untuk tinggal tidak jauh dari kantor.

Jika tinggal di wilayah pinggiran dan harus bekerja di Jakarta, Anda
memikul beban biaya transportasi yang semakin mahal. Fisik pun berpotensi
mengalami kelelahan yang luar biasa karena harus menempuh perjalanan berjam-jam.

Sebagai bangsa merdeka, sah-sah saja orang berpindah tempat tinggal sesuai
dengan keinginannya. Masalah muncul ketika orang kemudian mengambil tempat
tinggal yang sebenarnya bukan haknya.

Program rusunami bersubsidi jelas-jelas ditujukan bagi kalangan kurang
mampu, dengan salah satu tujuannya adalah mengatasi kondisi tempat tinggal
kalangan bawah yang jauh dari layak. Lingkungan yang padat, kumuh, kotor, tanpa
air bersih yang memadai, dan tanpa sistem ventilasi dan drainase yang baik
merupakan tempat berkubangnya penyakit fisik dan jiwa.

Program rusunami bersubsidi telah dijalankan oleh hampir semua kota besar
di dunia yang menghadapi masalah kependudukan. Dalam soal ini, kita bahkan
terlambat dibandingkan dengan kota besar lainnya di negara berkembang.

Pemerintah pasti telah memikirkan persyaratan yang ketat agar rusunami
bersubsidi tidak jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak, tetapi selalu saja
maling lebih pintar daripada polisi. Kita mendengar ada keluarga yang membeli
sampai enam unit di sebuah rusunami saja.

Hal ini membenarkan sinyalemen Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
Ali Tranghanda bahwa orang yang tadinya mengincar hunian bernilai Rp500 juta
kini beralih ke rusunami yang harganya cuma Rp144 juta per unit. Artinya, mereka
itu kalangan berduit, tetapi beralih membeli rusunami karena murah dan memiliki
prospek bagus sebagai sarana investasi. Hasil riset Procon menunjukkan pembeli
dari kalangan investor mencapai 40%.

Jika pemerintah tidak tegas menghadapi praktik semacam itu, kita akan
menyaksikan Jakarta yang penuh dengan tower rusunami bersubsidi, yang tidak
diikuti oleh hilangnya kawasan permukiman kumuh. Jika demikian, tidak ada
gunanya pemerintah memberi subsidi untuk rusunami karena yang menikmati adalah
kaum berpunya.

Kita mendesak pemerintah agar rusunami bersubsidi benar-benar ditinggali
oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Caranya, dengan membuat harganya lebih
terjangkau kalangan bawah. Masih berat bagi mereka membayar hunian senilai Rp144
juta. Lebih baik jika warga korban gusuran mendapatkan prioritas.

Mereka inilah yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal yang sehat dan
manusiawi. Perlu ditindak tegas orang mampu yang memborong sampai berunit-unit.



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Rabu, 09 Juli 2008

Izin Pendirian Apartemen


Pembangunan perumahan di lingkungan permukiman semestinya dilakukan pengembang atas persetujuan warga sekitar mengingat masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui secara pasti dampak apa yang akan ditimbulkan selama dan setelah pembangunan selesai dikerjakan. Namun, hal ini tidak terjadi pada pembangunan Apartemen Cibubur Comfort yang berlokasi di Jalan SMP 147 Kelurahan Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur.

PT Rajawali Core Indonesia selaku pihak pengembang tidak pernah melibatkan representasi warga, termasuk pengurus RT dan RW di lingkungan RW 013 Kelurahan Cibubur, guna menyosialisasikan rencana pembangunan apartemen tersebut. Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan warga. Bagaimana mungkin pembangunan yang sudah berjalan lebih dari setengah tahun itu bisa mendapatkan izin?

Adapun ketua RT/RW belum pernah membuatkan surat pengantar sebagai persyaratan umum pengurusan izin, seperti izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin-izin lainnya dari berbagai instansi pemerintah.

Permintaan warga melalui perwakilan warga RW 013 yang dibentuk masyarakat untuk memediasi dan bertemu langsung dengan pimpinan pengembang guna memperoleh informasi yang cukup tentang pembangunan apartemen tidak pernah ditanggapi, termasuk tidak adanya respons dari Lurah Cibubur dan Camat Ciracas untuk memfasilitasi pertemuan dimaksud.
Said Salahudin RW 013 Kelurahan Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Selasa, 08 Juli 2008

Pemerintah Temukan Harga Rusunami Direkayasa

Pemerintah Temukan Harga Rusunami Direkayasa
Senin, 05 Mei 2008 | 19:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Deputi Perumahan Formal Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Zulfi Syarif Koto, mengatakan pihaknya mendapat pengaduan dari masyarakat tentang rekayasa harga rumah susun sederhana milik (rusunami). Dalam rekayasa itu, rusunami dijual Rp 154 juta atau melebihi harga yang ditetapkan pemerintah Rp 144 juta per unit.

Dari pengaduan itu, konsumen diminta pihak pemasaran sejumlah proyek rusunami untuk membayar atau menutup selisih harga sebesar Rp 10 juta. "Modus ini terjadi di beberapa proyek rusunami," kata dia di Jakarta Senin (5/5). Setelah itu konsumen baru bisa mengajukan kredit pemilikan apartemen (KPA) rusunami Rp 144 juta dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.

"Ini melanggar aturan karena menyalahgunakan subsidi," tegas Zulfi. Dari pengaduan itu, konsumen yang memprotes hal ini ke pihak penjual diminta untuk membeli rusunami langsung ke Kementerian Perumahan Rakyat. Namun Zulfi belum bersedia membeberkan proyek rusunami yang melakukan rekayasa harga itu.

Kementerian Perumahan, kata dia, telah mengirim surat kepada asosiasi pengembang dan broker properti agar menertibkan pelanggaran ini dan meminta komitmen mereka untuk mensukseskan program rusunami. Zulfi menduga rekayasa ini sengaja dilakukan pihak pemasaran. Sebab dari hasil penelusuran, pengembang tak mengetahui terjadinya rekayasa harga.


URL: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/05/05/brk,20080505-122529,id.html



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Tip Yuridis Membeli Rumah

Konsumen perumahan di Indonesia seolah tak berdaya menghadapi tingkah laku pengembang (developer) yang merugikannya. Buktinya, sudah ribuan orang yang menjadi korban perumahan fiktif. Pada perumahan tidak fiktif pun konsumen juga sering kali tak berdaya. Konsumen dirugikan, misalnya karena penyerahan rumah yang tak sesuai jadual atau spesifikasi rumah yang tak sesuai dengan janji.

Benarkah posisi konsumen begitu lemah? Sebenarnya tidak. Jika konsumen menyadari dan mau menegakan hak-haknya, posisi konsumen malah sangat kuat. Apalagi mau menggalang kekuatan sesama konsumen, posisinya bisa semakin kuat. Mengapa? Pengembang sebenarnya sangat tergantung pada konsumen. Soalnya, pengembang telah mengeluarkan biaya yang besar untuk perizinan, pembebasan lahan, pembangunan, pemasaran dan lain-lainnya. Apalagi, jika untuk semua keperluan tersebut mereka menggunakan dana perbankan, maka biaya bunganya tentulah tidak sedikit.

Dalam keadaan seperti itu, jika pengembang beritikad tidak baik pada konsumen dan konsumen bereaksi keras apalagi bersama-sama, maka hal itu sangat merepotkan pengembang baik secara materil maupun non materil. Karena itu adalah keliru kalau dikatakan lemahnya posisi konsumen disebabkan tidak seimbangnya antara permintaan dengan persediaan rumah. Hal ini hendaknya menjadi pertimbangan bagi konsumen untuk memperkuat posisi tawarnya.

Uraian berikut adalah hal-hal yang perlu diwaspadai konsumen jika melakukan transaksi rumah. Dalam praktek biasanya transaksi dilakukan dalam dua tahap. Pertama, transaksi pada saat pemesanan yang biasa dilakukan pada saat launching atau pameran perumahan. Konsumen mendapat penjelasan secara lisan dari pengembang atau agen pemasarannya. Jika tertarik konsumen diminta menandatangani draf surat pesanan. Dalam surat pesanan tersebut ada klausula bahwa bila konsumen tidak menandatangani PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) sesuai jadual, maka uang pesanan (booking fee) akan hangus. Padahal, ketika menjelaskan pada saat launching atau pameran, pengembang/agen pemasarannya tak pernah memperlihatkan draf PPJB tersebut.

Pada saat ini, sering aspek-aspek hukum diabaikan kedua belah pihak. Yang dibicarakan hanyalah masalah harga, diskon, lokasi, bentuk fisik bangunan. Pada tahap ini pengembang/agen pemasarannya juga selalu mengobral janji-janji indah tentang perumahan yang dipasarkan. Dalam praktek janji-janji menggiurkan tersebut acapkali tak seindah malah bertolak belakang dengan kenyataanya di kemudian hari. Untuk itu, sebaiknya konsumen sebelum menandatangani surat pemesanan, meminta pengembang/agen pemasarannya untuk mencantumkan secara tertulis janji-janji tersebut pada surat pemesanan, lalu menandatanganinya. Kalau perlu ditambah klausula-klausula yang mengamankan posisi konsumen secara hukum.

Kedua, transaksi pada saat penandatanganan PPJB. Konsumen perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut sebelum menandatangani PPJB:

  1. Komparisi perjanjian, yaitu para pihak yang akan menandatangani PPJB. Apakah badan hukum PT pengembang itu telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman? Hal ini penting sehubungan dengan pertanggungjawabannya bila PT itu bubar atau pailit. Lalu apakah direktur yang menandatangani itu telah mendapat persetujuan dari komisaris perseroan, atau bila diwakilkan oleh orang lain selain direksi, harus mendapat kuasa dari direksi.
  2. Premis, yaitu penjelasan awal mengenai perjanjian. Harus ditegaskan bahwa pengembang telah memiliki/mengusai lahan tersebut secara sah dan tidak dalam keadaan dijaminkan. Lalu pengembang telah mendapatkan izin-izin yang diperlukan untuk proyek tersebut, sesuai dengan SK Menpera (atau peraturan yang sedang berlaku sekarang) tentang PPJB rumah.
  3. Isi PPJB yaitu: harga jual dan biaya-biaya lain yang ditanggung konsumen, tanggal serah terima fisik yang tidak boleh melebihi 18 bulan sejak pembayaran pertama, denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah terima fisik kepada konsumen, spesifikasi bangunan dan lokasi, hak konsumen untuk membatalkan perjanjian, bila pengembang lalai akan kewajibannya dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah disetor oleh konsumen berikut denda-dendanya, sebagaimana pengembang membatalkan perjanjian bila konsumen lalai melaksanakan kewajibannya. penandatangan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya dan denda bila terjadi keterlambatan penandatangan tersebut. Sehingga tidak hanya keterlambatan serah terima fisik yang didenda dan masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak tanggal serah terima.

Hal lain yang perlu diperhatikan konsumen adalah pada saat serah terima fisik. Rumah yang diserahkan harus cocok spesifikasinya dengan yang ada di dalam PPJB. Jika tidak sesuai, maka hak konsumen untuk tidak menandatangani berita acara serah terima tersebut, sebelum pengembang menyelesaikannya.

Penulis, konsultan hukum properti dan Direktur Lembaga Advokasi Konsumen Perumahan dan Pemukiman Rakyat.



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Kontributor