Rabu, 04 Juni 2008

Derita Pedagang di Balik Gemerlapnya Pusat Perdagangan



Karta, Cong Sian Moy, dan ratusan pedagang onderdil lainnya di pertokoan Wisma Sawah Besar (WSB), Jakarta Pusat, bingung tujuh keliling. Sudah lima bulan ini sambungan listrik dan telepon mereka diputus sepihak oleh pihak PT Muzatek Jaya, pengelola pertokoan WSB.



Akibat pemutusan kedua fasilitas vital tersebut, para pedagang harus kehilangan 70 persen pendapatannya.

Pemutusan tersebut merupakan buntut penolakan pemilik kios atas upaya "pemerasan" yang dilakukan pengelola. Menurut Karta, secara tidak masuk akal, PT Muzatek memaksa para pedagang membayar perpanjangan sertifikat hak guna bangunan (HGB) sebesar Rp 1,5 miliar. Padahal, ketika dicek ke kantor Pertanahan Jakarta Pusat melalui keterangan kepala kantornya, biaya resminya hanya Rp 97,3 juta.

Selain meminta biaya sertifikat HGB yang sangat besar, pengelola juga selama ini meminta biaya operasional gedung (service charge) yang sangat memberatkan dan tidak wajar. Sejumlah toko ditutup paksa akibat menolak keinginan pengelola, bahkan secara diam-diam toko yang ditutup itu disewakan ke pihak lain.

Menurut Cong Sian Moy, upaya pemerasan dan intimidasi yang dilakukan pengelola itu, sebetulnya bagian dari muslihat pengelola untuk mengusir pedagang yang sudah mendiami pertokoan WSB sejak 1977 itu. Para pedagang membeli toko dengan perjanjian jual-beli yang saling menguntungkan.

Kondisi berubah setelah pada awal 1990-an, sebagian besar saham PT Muzatek dibeli oleh kelompok usaha Humpuss. Dengan berbagai cara, pengelola berusaha mengambil alih kepemilikan toko.


Dilaporkan ke Polisi

Konflik antara pedagang dan pengelola pusat perdagangan juga terjadi di Pusat Perdagangan (ITC) Roxy Mas, Jakarta Pusat. Pertengahan Januari 2006 lalu, ketua Perhimpunan Penghuni Rusun Campuran ITC Roxy Mas, Kent Wijaya melaporkan sejumlah penghuni ke Polda Metro Jaya karena dianggap telah memfitnah pihaknya.

Sejumlah pemilik kios di ITC Roxy Mas, dianggap telah memfitnah dengan mengatakan Kent Wijaya dan kawan-kawan sesama pengurus telah memanipulasi dana yang disetorkan para penghuni/pemilik kios.

Menurut pengacara Kent Wijaya, Zulfahmi, para penghuni ITC Roxy Mas, yang dimotori Aguswandi Tanjung, telah menulis surat kepada ketua DPRD DKI, Gubernur DKI Jakarta, dan YLKI berisi fitnah yang tidak berdasar. Tudingan kecurangan Ketua PPRS ITC Roxy Mas yang dilayangkan Agus dan kawan-kawan telah mencoreng nama baik kliennya. "Kasus ini harus dituntaskan melalui jalur hukum," ujar Zulfahmi.

Tiga orang pemilik kios pun diperiksa Polda Metro Jaya sebagai saksi.

Pada saat bersamaan pihak penghuni, yang dimotori Aguswandi Tanjung, tengah meminta peninjauan kembali surat penghentian penyidikan perkara (SP3) kasus penggelapan laporan administrasi keuangan oleh PPRS ITC Roxy Mas. Penggelapan tersebut, meliputi dana sinking fund, penghasilan area publik, dan laporan biaya perpanjangan sertifikat induk.

Pihak Polda merespons laporan tersebut, dengan melakukan gelar perkara pada 20 April 2006 lalu.

Kasus aksi saling lapor, sepertinya masih akan menempuh perjalanan panjang, mengingat kedua pihak mengklaim memiliki bukti-bukti yang kuat. Aksi saling lapor ini merupakan babak baru pertikaian hukum di antara kedua belah pihak.

Sebelumnya, para penghuni/pemilik kios pernah menggugat PPRS ITC Roxy Mas dengan tuduhan memanipulasi sertifikat kepemilikan kios yang berpotensi menghilangkan hak penghuni/pemilik atau kepemilikan kios mereka.

Gugatan yang berujung di pengadilan itu, akhirnya dimenangkan oleh pihak PPRS melalui ketukan palu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir 2005 lalu. Pihak Kent Wijaya saat itu meminta penghuni menaati putusan pengadilan.

Sementara pihak Aguswandi Tanjung menuding banyak kejanggalan dalam putusan itu dan melakukan perlawanan hukum hingga saat ini. Perseteruan itu sendiri sudah dimulai sejak pertengahan 2001 silam, saat penghuni/pemilik kios menggugat biaya service charge yang mencekik leher.

Berbeda dengan rekan-rekannya di ITC Roxy Mas, meski resah, para pedagang di ITC Mangga Dua belum berani menempuh jalur hukum untuk melawan kesewenang-wenangan pengelola. Menurut Winny Kwee, salah seorang pemilik kios di ITC Mangga Dua (MD), pihak pengelola berhasil menakut-nakuti penghuni dan memecah-belah mereka.

Jika ada penghuni yang melawan kebijakan pengelola, intimidasi, mulai dari pemutusan sambungan listrik dan telepon hingga tekanan psikologis, pun dilakukan. Sementara sebagian penghuni yang kritis dibungkam dengan konsesi pembagian keuntungan penyewaan koridor, area lobby, maupun ruang pamer kepada para pedagang kaki lima.

Setiap pedagang kaki lima menyewa tempat Rp 6 juta/m2/ bulan. Dari harga sewa itu, penghuni kritis yang berhasil dibungkam memperoleh bagian Rp 2 juta/m2/bulan.

Menurut Kwee, penderitaan pedagang di ITC MD bukan hanya karena biaya servis yang kelewat mahal semata, namun juga karena akses pembeli ke kios tertutup oleh keberadaan pedagang kaki lima.

Ironisnya lagi, para pemilik kios harus menanggung seluruh biaya operasional gedung (service charge), termasuk yang digunakan pedagang penyewa bagian bersama di ITC MD itu.

Belum lagi lahan parkir yang habis digunakan oleh bukan pengunjung sehingga pengunjung yang datang ke kios makin sepi. Akibat berbagai kebijakan itu, pemilik kios pun harus menderita kerugian yang sangat besar.

Keluhan yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh para pedagang di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan. Menurut Inge, salah seorang pemilik kios di ITC Permata Hijau, pihak pengelola juga menerapkan kebijakan yang memberatkan pemilik kios. Parahnya lagi, saat ini belum ada perhimpunan pengurus sebagaimana diamanatkan undang-undang.


Preseden Buruk

Berbagai kasus yang mencuat di sejumlah pusat perdagangan menurut anggota Komisi B DKI Jakarta Nurmansyah Lubis merupakan preseden buruk yang harus diselesaikan. Keberadaan para pedagang sebagai salah satu pilar perekonomian bangsa, harus dijamin hak-haknya sesuai peraturan yang berlaku.

Anca, panggilan mantan auditor BPKP itu, mendesak Pemprov DKI segera menuntaskan kasus-kasus ini dengan seadil-adilnya.

Melihat rentetan kasus per kasus, Anca melihat ada kesamaan modus dan juga pelaku yang mengarah ke segelintir pengembang yang sepertinya sengaja melakukan praktik-praktik haram. Para pedagang diiming-imingi berbagai macam fasilitas sehingga tergiur membeli kios di pusat perdagangan yang mereka dirikan, setelah itu mereka dijebak dengan berbagai macam aturan yang menyulitkan posisi pedagang.

Anca melihat, modus ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan dijadikan ajang menumpuk kekayaan bagi pengembang tersebut. Hebatnya lagi, praktik ini tak pernah tersentuh hukum sehingga kuat dugaan melibatkan oknum pejabat Pemprov DKI.

Oleh karena itu, ia meminta gubernur menertibkan anak buahnya jika terbukti terlibat praktek pemerasan terselubung semacam itu. "Jika dibiarkan, preseden ini akan menjadi ancaman bagi pembangunan perekonomian di DKI Jakarta," ujarnya


Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Tidak ada komentar:

Kontributor