Kamis, 05 Juni 2008

Masalah Di Balik Warkah Tak saling memahami.

Berlindung di balik kelemahan regulasi.

"PT Duta Pertiwi Tbk., menipu", demikian tajuk salah satu surat pembaca yang dimuat Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007. Surat pembaca itu ditulis salah seorang pengurus Perhimpunan Penghuni Apartemen Mangga Dua Court, dan menyita perhatian khalayak. Betapa tidak, PT Duta Pertiwi Tbk., merupakan pengembang bonafid dengan rekam jejak panjang dalam bisnis dan industri properti Indonesia. Terpublikasinya surat pembaca tersebut, secara langsung mempertaruhkan kredibilitas pengembang ini.

Menariknya, PT Duta Pertiwi Tbk., yang nota bene anak usaha Grup Sinar Mas, buka suara. Setelah selama ini tidak pernah menanggapi kasus atau yang menurut mereka masih dalam taraf isu. Melalui Corporate Communications General Manager Sinarmas Developer & Real Estate Dhony Rahajoe, mereka menyanggah gugatan dan tuduhan surat pembaca itu. Dalam edisi majalah yang sama berikutnya, Dhony menegaskan bahwa PT Duta Pertiwi Tbk tidak pernah melakukan penipuan terhadap konsumen dan selalu mengikuti peraturan yang berlaku.

Dijelaskan Dhony, sebelum akta jual beli (AJB) dibuat, PT Duta Pertiwi Tbk. (sebagai penjual) dan pembeli (pemilik kios) telah mengadakan kesepakatan bersama yang hanya mencakup obyek unit properti yang diperjualbelikan seperti harga, cara pembayaran dan jadual serah terima. Semua kesepakatan bersama ini dituangkan secara tertulis dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Setelah PPJB disetujui dan ditandatangani para pihak, selanjutnya dilaksanakan penandatanganan AJB di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Notaris/PPAT tidak akan mengesahkan AJB sebelum para pihak memahami, menyetujui dan menandatangani segala kondisi jual beli yang tertuang dalam AJB. "Jadi, tidak masuk akal, kalau mereka yang menggugat itu tidak mengetahui sama sekali kondisi properti yang ditransaksikan. Lha mereka menyetujui dan menandatangani kok. Berarti mereka memahami dong. Lagipula yang menggugat kami itu bukan pembeli pertama, melainkan pembeli kedua, ketiga dan bahkan ada pembeli keempat," ungkap Dhony.

Perseteruan terbuka tak berhenti di situ. Beberapa hari kemudian terlansir surat pembaca serupa yang ditulis Khoe Seng Seng dan dimuat di harian nasional bertiras besar. Secara umum, materinya sama dengan yang pertama, berisi gugatan terhadap PT Duta Pertiwi Tbk. Menurut mereka, pengembang milik konglomerat Muktar Widjaja ini telah melakukan penipuan. Mereka merasa PT Duta Pertiwi Tbk., sengaja menutupi status Hak Guna Bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan lahan (HPL). Lahan bersama dengan status HPL inilah yang digunakan untuk membangun superblok Mangga Dua yang terdiri atas pusat perdagangan ITC Mangga Dua, Apartemen Mangga Dua Court, perkantoran JITC dan ruko Mangga Dua. Yang mereka pahami, ketika PT Duta Pertiwi Tbk memasarkan propertinya, status kepemilikannya adalah hak milik strata title dengan status lahan bersama yang juga hak milik. Logikanya, jika sudah menjadi hak milik, untuk apa mereka diharuskan melakukan perpanjangan sertipikat hak milik.

Padahal sejatinya, HPL milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini, terbatas jangka waktu berlakunya dan sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Dengan demikian, pemilik properti di atasnya harus memperpanjang atau memperbarui HGB-nya berdasarkan rekomendasi HPL kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Celakanya, masa berlaku HGB di atas HPL properti di superblok Mangga Dua tersebut sampai tahun 2008. Jika perbaruan hak tidak dilakukan, maka sesuai dengan konsideran PP 4 tahun 1988 Pasal 50, hapusnya hak atas tanah bersama akan mengakibatkan hapusnya pula hak milik properti di atasnya. Sontak saja, sejumlah pedagang dan pemilik kios resah bukan kepalang. Mereka berpikir properti yang dihakinya akan berubah, tidak lagi hak milik melainkan hak sewa. "Dan bisa saja pengembang menyewakan properti kami pada pihak ketiga tanpa sepengetahuan kami," ujar Fifi Tanang, salah seorang pemilik kios ITC Mangga Dua. Keresahan Fifi dan sejumlah pemilik kios lainnya merupakan puncak gunung es dari sekian banyak kasus kepemilikan strata title bermasalah yang ada di Indonesia.

Potret buram ini bahkan melibatkan sejumlah pengembang ternama. Katakanlah PT Lippo Development (sebelum berubah nama menjadi PT Lippo Karawaci), PT Bukit Sentul Tbk., PT Muzatek Jaya, Grup Agung Podomoro, PT Citicon Mitra Tanahabang dan PT Duta Pertiwi Tbk. Yang disebut terakhir ini adalah pengembang yang paling banyak dan sering terganjal masalah. Selain proyek properti strata title-nya yang terhampar di mana-mana, juga kompleksitas problema yang mencuat tak bisa dianggap remeh. Sebelum kasus Mangga Dua, PT Duta Pertiwi Tbk., sempat terseret namanya akibat dimejahijaukannya pengurus perhimpunan penghuni (PP) oleh para pemilik kios ITC Roxy Mas akhir 2005 lalu. Asal tahu saja beberapa pengurus PP ITC Roxy Mas merupakan profesional PT Duta Pertiwi Tbk.

Pertikaian hukum tersebut dipicu oleh perlakuan semena-mena pengurus PP dalam penentuan besaran service charge (biaya pemeliharaan gedung) yang terjadi pada tahun 2001. Puncaknya, pengurus PP diduga memanipulasi sertipikat kepemilikan kios yang berpotensi menghilangkan hak penghuni/pemilik atas kios mereka. Kasus ini berujung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang akhirnya dimenangkan oleh pengurus PP. Belum lagi menyeruaknya berita dugaan data manipulatif yang dilakukan Grup Agung Podomoro terhadap para pemilik apartemen Mediterania Palace Kemayoran. Mereka menuduh Grup Agung Podomoro melakukan penipuan dengan melaporkan data luas bangunan unit apartemen yang sama sekali berbeda. Terdapat perbedaan signifikan antara data luas bangunan yang tercantum di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan yang tercatat dalam Akta Jual Beli (AJB).

Sesungguhnya, menurut ahli hukum pertanahan Arie S Hutagalung, kasus strata title bermasalah tersebut tidak perlu ada, seandainya para pihak (pembeli/pemilik, pengembang, badan pengelola dan perhimpunan penghuni) memahami, menyadari dan mau melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Jika ini diabaikan, sampai kapan pun masalah yang berhilir pada konflik dalam properti strata title ini akan tetap ada. Padahal, antara badan pengelola, pembeli/pemilik, pengembang dan perhimpunan penghuni terdapat suatu hubungan fungsional yang fundamen. Di mana mereka harus bertanggung jawab bersama-sama atas penggunaan properti (kios, apartemen, mal, dan fungsi properti berstatus strata title lainnya) secara keseluruhan. Sebab potensi konflik itu akan timbul, tidak hanya pada masa pengelolaan/pemeliharaan setelah properti terbangun. Justru sejak dalam masa persiapan pembangunan seperti masa persiapan lahan, pemasaran, transaksi jual beli, dan pembangunan. Benar adanya, pada masa pengelolaan, akan lebih banyak timbul masalah. Terbukti kasus-kasus yang menyembul ke permukaan adalah melulu konflik yang terjadi antara pemilik/pembeli dan pengelola. Sebab, masalah pengelolaan ini adalah klausul yang terpenting. Dalam sistem kepemilikan strata title, baik kondominium, apartemen, kios, mal atau fungsi properti lainnya, suatu saat tertentu akan ditinggalkan oleh developer­-nya. Sehingga pengembang ini dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya dan sama sekali tidak bisa diserahkan kepada Pemda seperti halnya fasilitas sosial atau fasilitas umum dalam sebuah perumahan (landed house). Kalau sudah begitu, siapa yang mau mengelola?

Inilah yang perlu dipikirkan, apakah pemilik dan penghuni properti strata title siap melaksanakan pengelolaan ini. Mengingat legal consciousness dan legal dicipline masih jauh panggang dari api. Belum lagi administrasi pertanahan yang masih carut marut. Nah, menilik kasus ITC Mangga Dua, menurut analisa Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo, kemungkinan besar yang terjadi adalah PT Duta Pertiwi Tbk, cenderung tidak memberikan informasi secara transparan pada saat masa transaksi jual beli. Pun pada saat penandatanganan kesepakatan AJB. Karena di situ tidak dicantumkan status HGB di atas HPL. Dhony mengatakan asal usul tanah bersama itu hanya tertuang dalam kolom catatan pada masing-masing sertipikat hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) yang tertulis nomor dan tahun warkah. Warkah ini adalah sertipikat HGB tanah bersama yang di dalamnya terdapat keterangan tentang HGB di atas HPL. Ada pun warkah ini diserahkan pada pembeli setelah kios (properti)-nya dibayar lunas. Dari keterangan ini jelas terungkap bahwa ternyata, analisa Erwin ada benarnya. "Pengembang tidak menjelaskan bagaimana status lahan bersama ITC Mangga Dua sejak awal. Baik lisan maupun tertulis. Seharusnya keterangan status HGB di atas HPL juga sudah tertuang baik dalam PPJB maupun AJB. Meski belum ada regulasi yang mengaturnya. Ini masalah iktikad baik," ujarnya.

Meski PT Duta Pertiwi Tbk mengklaim pihaknya telah melakukan proses transaksi dengan konsumen sesuai prosedur, namun dinilai Erwin tidak serta merta permasalahan laten dapat diabaikan begitu saja. Permasalahan laten dimaksud adalah informasi sensitif yang dapat mempengaruhi prestasi penjualan. Jika PT Duta Pertiwi Tbk., betul telah memberikan informasi secara transparan, dan apa adanya, apakah mungkin ITC Mangga Dua bakal laris seperti saat ini? Selain itu, lanjut Erwin, tak cuma PT Duta Pertiwi Tbk., pengembang lain pun acapkali pelit berbagi informasi yang menyangkut hak konsumen, seperti kapan konsumen menerima sertipikat strata yang sudah terpisah, berapa ganti rugi yang akan diberikan kepada konsumen jika pengembang cedera janji atau wanprestasi, dan sebagainya. Tidak Terakomodasi Inilah kelemahan regulasi rumah susun yang memang sejatinya dirancang untuk kepentingan rumah susun sederhana (strata title hunian). Berhubung perkembangan bisnis dan industri properti sangat dinamis, sementara regulasi yang ada tidak mengakomodasi semuanya, maka yang terjadi kemudian adalah konsideran yang berlaku (UU Rumah Susun No. 16 tahun 85 dan Perturan Pemerintah No.4 tahun 1988) harus mengatur dengan kapasitas terbatas. Akibatnya konflik-konflik yang timbul dan berkembang kemudian tidak (belum) terselesaikan secara final. Selalu saja ada masalah ikutan yang menyertai masalah awal. Ironinya, regulasi tersebut menjadi majal ketika dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh tidak saja pengembang juga pengelola dan pemilik/penghuni. Padahal potensi konflik yang bakal timbul akibat persinggungan setelah properti strata title itu terbangun sangat besar, beragam dan lebih kompleks. Apalagi properti strata title sekarang sudah berkembang penggunaannya tidak hanya untuk hunian, juga non hunian (komersial) dan fungsi campuran. Tentu saja, ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi dalam kelnjutan hidup bersama dalam properti strata title tersebut dan potensial terjadinya pelanggaran persyaratan administratif atas ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Potensi Konflik Dalam Properti Strata Title Untuk properti strata title non hunian, masalah akan timbul tatkala membentuk Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Kriteria penghuni tidak tercakup dalam peraturan perundangan yang ada, karena untuk strata title non hunian, satuan rumah susun (SRS) tidak dihuni 24 jam. Dan khusus untuk perkantoran terdapat kemajemukan karena pegawai kantor secara gradual dapat selalu berubah baik dari segi jumlah maupun personalianya. Sedangkan untuk properti strata title campuran, pembentukan PPRS sangat sulit disatukan antara PPRS hunian, PPRS perkantoran dan PPRS pusat belanja/pertokoan. Bukan saja karena perbedaan pengunaan SRS-nya, juga heterogenitas penghuni baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya. Di lain pihak, belum ada ketentuan khusus yang memberi peluang adanya beberapa PPRS dalam satu lingkungan properti strata title. Karena konstelasi bisnis yang selalu berubah, konsekuensinya ada beberapa fungsi properti yang diubah statusnya. Dari sebelumnya properti strata title menjadi serviced apartment atau hotel. Jika ini dilakukan hanya pada satu bangunan strata title yang meliputi satu lingkungan, maka akan terjadi ketimpangan pada pembentukan PPRS. Karena bangunan yang disewakan, seluruh Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)-nya dimiliki pengembang. Sehingga mereka mempunyai suara mayoritas dalam menentukan kehidupan bersama dalam properti strata title. Potensi konflik juga akan mudah ditemukan pada gedung bertingkat yang mengalami perubahan sistem kepemilikan individual ke sistem SRS. Ini belum ada ketentuan pastinya. Apakah perubahan tersebut dimungkinkan atau tidak. Bila dimungkinkan, pastinya akan terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi. Perubahan ini juga pasti menimbulkan konsekuensi aktual pada perubahan struktur bangunan, termasuk persyaratan-persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan regulasi yang ada.

Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Tidak ada komentar:

Kontributor