Rabu, 11 Juni 2008

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DASAR HUKUM PEMUNGUTAN :
  • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 ten-tang Persentase Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara pendaftaran objek pajak PBB.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1003/KMK.04/ 1985 tentang Penuntun Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual objek Pajak sebagai dasar Pengenaan PBB.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara penagihan PBB dan pe- nunjukkan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Paksa.
  • Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/ 1985 tentang Pelimpahan Wewenang Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupai/Walikota madya Kepala Daerah Tingkat II..
  • Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 816 Ta-hun 1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungut- an Pajak Bumi dan Bangunan di Wilayah DKI Jakarta.
  • Peraturan Pelaksanaan Lainnya.

OBJEK DAN SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) :

1. Obyek PBB :

a. Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.

b. Termasuk pengertian bangunan adalah :

  • Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang me-rupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
  • Jalan tol;
  • Kolam renang;
  • Pagar Mewah, taman mewah;
  • Tempat olah raga;
  • Galangan kapal/dermaga;
  • Tempat penampungan /kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
  • Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

2. Subjek/Wajib Pajak PBB

Yang menjadi subjek/wajib pajak PBB, antara lain :

  • Pemilik;
  • Penghuni;
  • Pengontrak;
  • Penggarap;
  • Pemakai;
  • Penyewa.

TATA CARA PENILAIAN DAN PENETAPAN

Berdasarkan data objek PBB yang telah dihimpun dalam SPOP, Kantor Pelayanan PBB di wilayah kerja dimana objek PBB tersebut berada mengadakan penilaian dan penetapan untuk penertiban SPPT-PBB.

1. Tata Cara Penilaian.

Penilaian objek PBB meliputi penilaian objek tanah dan bangunan :

a. Penilaian Tanah

Penilaian objek tanah dilakukan dengan cara menentukan/menilai harga tanah berdasar-kan transaksi jual beli tanah yang terjadi diwilayh tersebut

dengan mengambil harga jual rata-rata.

b. Penilaian Bangunan :

  • Penilaian objek bengunan, dilakukan dengan cara menilai konstruksi bangunan yang meli-puti antara lain ; komstruksi landasan, kon-struksi dinding dan konstruksi atap, dimana dalam penilaianny memperhatikan segi kwalitas material bangunan dan luas bangunan.
  • Disamping penilaian terhadap konstruksi ba-ngunan juga menilai pagar dan taman yang dinilai mewah serta emplasemen yang meru-pakan satu kesatuan dengan bangunan tersebut.
  • Untuk penilaian masing-masing konstruksi bangunan mempunyai cara-cara penilaisan tersendiri , dimana pada akhir penilaian tersebut akan merupakan klasifikasi dari pada suatu bangunan yang akan dicantumkan pada SPOP sebagai bahan penetapan PBB.

2. Tata Cara Penetapan

Berdasarkan data objek PBB yang telah di-himpun dalam SPOP dan telah diadakan penilaian serta penentuan klasifikasi tanah dan bangunannya, selanjutnya

diadakan penghitungan/penetapan pajak guna penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), dengan ketentuan sebagai beri-kut :

  • Besarnya tarif adalah 0,5 % (lima perseribu);
  • Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP);
  • Dasar perhitungan pajak (Nilai Jual Kena Pajak) adalah 20% dari Nilai Jual Objek Pajak(NJOP);
  • Batas Nilai Jual bangunan Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 3.500.000,- untuk setiap satuan bangunan;

Besarnya Pajak yang terhutang adalah :
Untuk Tanah : 0,5 % x 20 % x Nilai Jual Tanah
Untuk Bangunan : 0,5 % x 20 % x (Nilai Jual bangunan dikura-ngi Rp. 3.500.000,-)

Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai objek Pajak berupa :

  • Tanah seluas 500 M2 dengan harga jual pada NJOP Ro. 100.000,- /M2.
  • Bangunan seluas 250 M2 dengan nilai jual Rp. 300.000,- /M2.
  • Taman mewah seluas 150 M2 dengan nilai jual Rp. 50.000,- /M2.
  • Pagar mewah sepanjang 100 M2 dan tinggi rata-rata pagar 1,5 M dengan nilai jual Rp. 150.000,- /M2.

Besarnya pajak yang terhutang adalah sbb :

  • Nilai jual tanah : 500 x Rp. 100.000,- = Rp. 50.000.000,-
  • Nilai jual bangunan :
    • Bangunan ( Rumah dan Garasi )
      250 x Rp. 300.000,- ------------- = Rp. 75.000.000,-
    • Taman mewah
      150 x Rp. 50.000,- -------------- = Rp. 7.500.000,-
    • Pagar mewah
      ( 100 x 1,5 ) x Rp. 150.000,- ---- = Rp. 22.500.000,-
      ----------------------------Jumlah = Rp. 105.000.000,-

Batas nilai bangunan tidak kena pajak = Rp. 3.500.000,-
Nilai jual bangungan = Rp. 101.500.000,-
Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang :

Atas tanah : 0,5 % x 20 % x Rp. 50.000.000,- = Rp. 50.000,-

Atas bangunan : 0,5 % x 20 % x Rp. 101.500.000,- = Rp. 101.500,-

Jumlah pajak yang terhutang = Rp. 151.500,-


tambahan tulisan :

Perhitungan NJOP Untuk Rumah Susun atau Apartemen

Dalam jual beli atas Rumah Susun (Rusun) atau yang juga dikenal sebagai condominium, agak sulit dalam menentukan berapa pajak yang harus kita bayar dalam hal SPT PBB nya masih bersifat global, artinya untuk seluruh unit rumah susun tersebut, masih mengacu pada 1 (satu) SPT PBB induk atas nama developer dan belum dipecah ke masing-masing unit yang dijual.

Pemilikan rumah susun didasarkan pada konsep pemilikan atas: tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama, oleh karena itu, NJOP rumah susun juga harus dipisah2kan antara kepemilikan atas tanah bersama, benda bersama dan bagian bersama tersebut..
Artinya, pemilikannya adalah berdasarkan perbandingan proporsional antara luas sertifikat induk dengan luas unit yang akan bapak beli (dalam sertifikat HMSRS di sebut nilai perbandingan proporsional). Kemudian untuk bangunannya juga di bandingkan antara total luas rusun dengan luas unit yang akan dibeli.

Rumus Perhitungannya:

1. (Luas unit X 100) : Nilai Perbandingan Proporsional = Luas bangunan efektif (LBE)

2. Bangunan bersama - LBE = luas bangunan bersama (LBB)

3. (luas unit X bumi bersama) : LBE = tanah bersama (TB)

4. (luas unit X LBB) : LBE = bangunan bersama (BB)

NJOP PBB nya:

a. TB X harga permeter bumi (tanah secara keseluruhan) = luas bumi
b. BB X harga permeter bangunan (secara keseluruhan) = luas bangunan
c. luas X harga permeter bangunan = luas unit bangunan
============== +
NJOP apartemen tersebut

Setelah diperoleh NJOP atas rumah susun dimaksud, barulah dikalikan dengan BPHTB setelah dikurangi Nilai perolehan tidak kena pajak (NPTKP) dari masing-masing daerah. Jadi NPTKP tersebut tergantung lokasinya (untuk pengurang BPHTBnya). Sebagai contoh, jika di Jakarta NPTKP nya adalah sebesar : Rp. 60 juta.

Dr milis Sudirman Park Online:



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Dua Masalah Krusial

Sumber: Republika

''Bubuuuur....'' Teriakan yang membelah angkasa itu dulu sering
didengar Hartono, pedagang bubur kacang ijo. Setelah teriakan itu,
penghuni rumah susun (rusun) Klender biasanya menurunkan ember kecil
dengan tali. Ember kecil itu diisi mangkuk dan uang. Setelah mangkuk
terisi, kemudian ditarik lagi ke atas.

Pemandangan lucu di rusun itu tak akan terlihat lagi di rusun-rusun
baru yang akan dibangun lewat program Rumah Susun Sederhana (Rusuna)
1.000 Tower. Gedung rusun baru itu akan dibuat lebih jangkung serta
dilengkapi lift. Tapi, siapa yang kelak mengelola rusun pencakar
langit itu, masih menjadi kekhawatiran.

Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi),
Ibnu Tadji, mengatakan ada dua persoalan krusial rusun di Indonesia.
Pertama, pengelolanya yang tidak jelas. Kedua, bagaimana hak-hak
penghuni di kemudian hari. ''Makanya saya masih was-was dengan
rencana itu (Rusuna 1.000 Tower, red).''

Ibnu menyatakan mengelola rusun yang tingginya sampai 20 lantai bukan
perkara mudah. Harus ada yang merawat fasilitas seperti lift, air,
pemadam kebakaran dan lain-lain. Bila pengelolanya asal-asalan, dia
menyatakan bisa jadi suatu saat orang di lantai 20 tak bisa turun
karena lift macet, atau tak dapat air.

Berdasarkan UU No 16/1985 tentang Rusun, kata Ibnu, pengelola rusun
dibentuk oleh Perhimpunan Pengelola Rumah Susun (PPRS). Tapi, sampai
saat ini, pengelolanya masih berbeda-beda. Terkadang pengembang pun
masih ikut mengelola kemudian membebani penghuni dengan aneka
pungutan pelayanan dan pemeliharaan.

Daripada pengelolaannya nanti tidak karuan, Ibnu mengusulkan rusun-
rusun itu sebaiknya dikelola penghuni, bukan pengembang. Itu akan
membuat biaya tinggal di rusun menjadi murah. Tapi, sebelum hengkang,
pengembang harus melatih para penghuni untuk mengelola rusun. ''Atau
sekalian saja dikelola profesional,'' katanya.

Sosiolog dari FISIP UI, JF Warouw, melihat penghuni rusun sampai saat
ini masih menjadi sapi perahan. Mereka dikutip berbagai macam biaya
mulai dari pelayanan, perawatan, keamanan, dan lain-lain. ''Akan
banyak konflik di rusun yang akan dibangun, karena di situ ada
interest. Jadi harus jelas pengelolaannya.''

Masalah kedua adalah kepastian hak kepemilikan. Gedung-gedung rusun
baru, memang ditargetkan berumur lebih lama, sekitar 50-70 tahun,
dibanding rusun-rusun lama yang hanya 20-an tahun. Tapi, bagaimana
hak-hak mereka setelah itu, tak ada kepastian. ''Ini yang sampai saat
ini diperjuangkan Aperssi,'' kata Ibnu.

Adalah ironis, tutur Ibnu, bila seseorang yang saat muda menyicil
satu unit rusun, kemudian di hari tuanya dia terusir dari tempatnya
walaupun telah selesai menyicil dan memegang sertifikat. Sebab unit
rusun yang dia tempati berdiri di atas tanah negara. ''Ini harus
diperjelas agar masyarakat tak dibodohi,'' pintanya.




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Jumat, 06 Juni 2008

Mengapa Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) itu PENTING?

Seperti yang tertulis di PP No.4 Th 1988 Pasal 54, PPRS didirikan untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama penghuni apartemen dari sisi pemilikan, penghunian dan pengelolaannya. Mari kita tinjau satu persatu ketiga hal yang menjadi ruang lingkup kerja PPRS: pemilikan, penghunian dan pengelolaan.

Pemilikan

Apabila pemilik akan menjual, mewariskan, menyewakan unitnya ke orang lain maka kegiatan ini dituangkan dalam bentuk akta yang secara tegas mencantumkan beralihnya sebagian atau seluruh hak dan kewajiban penghuni. Akta tersebut harus didaftarkan di PPRS (PP No 4 Th 1988 Pasal 58).

Prosedur pendaftaran di PPRS adalah dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh PPRS dan tentunya membayar biaya pendaftaran dimana besarnya biaya pendaftaran ditentukan oleh rapat perhimpunan penghuni.

Setelah proses pendaftaran di PPRS selesai maka apabila seseorang akan menjual unitnya tahap berikutnya adalah dilakukan pendaftaran peralihan hak ke Badan Pertanahan Nasional dengan melampirkan:

a. Akta PPAT atau Berita Acara Lelang dari Kantor Lelang Negara

b. Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

c. AD/ART yang sudah dilegalisir oleh pengurus PPRS

d. Surat-surat lain yang diperlukan untuk pemindahan hak sesuai dengan ketentuan yang berlaku


Seseorang yang akan mewariskan unitnya maka prosedurnya sama dengan orang yang akan menjual unitnya dengan pengecualian di butir a di atas, Akta PPAT atau Berita Acara Lelang diganti dengan surat keterangan pewaris dan keterangan waris atau fatwa waris atau keputusan hakim mengenai pewarisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagaimana dengan prosedur untuk perpanjangan hak atas tanah?

Jangan lupa bahwa ada HGB atas tanah bersama rumah susun maka kewajiban penghuni adalah mengajukan permohonan secara tertulis perpanjangan HGB atas tanah atau pembaruan hak atas tanah ke PPRS (PP No.4 Th 1988 Pasal 52). Permohonan ini baru dapat dilayani apabila penghuni sudah memenuhi kelengkapan yang diperlukan dan membayar kewajiban keuangan maupun kewajiban lainnya. Semua biaya yang timbul adalah sebagai akibat dari adanya perpanjangan hak yang dimaksud menjadi beban yang ditanggung oleh penghuni yang mengajukan permohonan.

Silahkan dibaca Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No: 06/KPTS/BKP4N/1995 Tentang Pedoman Pembuatan Akte Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPRS untuk mengetahui lebih dalam mengenai PPRS.

Dapat dilihat dari keterangan di atas maka PPRS memegang peranan penting dalam hal pemilikan atas unit yang kita tempati/sewakan saat ini. PPRS yang dikendalikan oleh pihak yang bukan penghuni tentunya adalah PPRS yang berorientasi kepada keuntungan uang semata-mata dengan mengabaikan kepentingan bersama penghuninya. Bukan tidak mungkin biaya yang dikenakan untuk membayar biaya pendaftaran sangat tinggi (menyamai atau bahkan melebihi 0.5% dari biaya transaksi/NJOP). , pada saat kita hendak menjual/mewariskan/menyewakan unit

Hal yang sama juga dapat terjadi 30 tahun mendatang pada saat perpanjangan hak atas tanah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa PPRS yang dikendalikan oleh pihak yang bukan penghuni menerapkan tarif yang tidak masuk akal pada saat penghuni hendak mengajukan permohonan perpanjangan hak atas tanah. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat teman-teman lihat http://rusun.blogspot.com/2008/06/derita-pedagang-di-balik-gemerlapnya.html atau tanyakan langsung ke pengurus dari Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia untuk mengetahui kabar mengenai apartemen di Indonesia pada umumnya.

Kami menyadari bahwa keterbatasan waktu dan tempat dapat menjadi kendala bagi teman-teman untuk menghadiri rapat pembentukan PPRS. Kami menghimbau teman-teman untuk lebih waspada dan berhati-hati dalam menandatangani surat kuasa. Terutama yang disodorkan oleh pihak yang bukan penghuni karena tujuan dari surat kuasa semacam itu tidak lain adalah untuk memiliki suara yang dominan dalam rapat pembentukan PPRS agar dapat memilih pengurus PPRS. Hasil akhirnya, PPRS yang dibentuk adalah bukan PPRS yang berdasarkan azas manfaat dari penghuni untuk penghuni melainkan PPRS yang dibentuk untuk mencari keuntungan uang semata-mata.

Bagi teman-teman yang sudah telanjur menandatangani surat kuasa untuk mewakilkan suaranya di rapat pembentukan PPRS maka teman-teman dapat membuat surat pencabutan surat kuasa ditujukan ke pihak yang menyodorkan surat kuasa tersebut. Ambil surat kuasa yang sudah ditandatangani (karena kalau tidak diambil, dikhawatirkan surat kuasa tersebut dapat disalahgunakan). Apabila teman-teman benar-benar tidak dapat hadir di rapat pembentukan PPRS maka berikan surat kuasa dengan prioritas ke keluarga terdekat, sahabat atau para pemilik/penghuni yang menempati unitnya di Sudirman Park

Jangan telan mentah-mentah informasi yang teman-teman baca di flyer ini, gunakan waktu dan pikiran untuk memahami isi dari flyer ini. Bagi teman-teman yang sudah menandatangani surat kuasa, cermati pembicaraan dan sikap mereka pada saat teman-teman hendak mengambil surat kuasa yang sudah diberikan. Ambil kesimpulan dari kejadian tersebut.

Nantikan artikel kami selanjutnya dengan mengirimkan email ke sudirman_park_online-subscribe@yahoogroups.com atau klik
http://groups.yahoo.com/group/sudirman_park_online/


Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Kamis, 05 Juni 2008

Apartment tenants join forces against 'black' developers

The Jakarta Post, Friday, March 3, 2006

Mounting frustration has spawned an alliance between the owners of apartment units, shop-houses, kiosks and shops in the city to deal with the developers of their respective properties.

"Evidently, tenants of many properties in Greater Jakarta share the same grievances. They wish to join our fight, so we decided to establish this group," FP-ARK spokesman Ibnu Tadji, who owns an apartment unit in Bumimas Apartment in Cilandak Barat, South Jakarta, told The Jakarta Post on Wednesday.

In January, apartment unit owners at Bumimas Apartment initiated the move against its management, PT Bumimas Megah Prima, through a peaceful rally.

Soon after they were joined by tenants of ITC Mangga Dua, ITC Roxy Mas, ITC Cempaka Mas and Mangga Dua Court Apartment, and established the Greater Jakarta Apartment Unit, Shop-House, Kiosk and Shop Owners Forum (FP-ARK) on Feb. 25.

"Together we will fight the injustices perpetrated by 'black' developers," a statement in the group's declaration reads.

Since then at least two more groups have joined the fight, namely tenants from ITC Bumi Serpong Damai and ITC Depok, Ibnu said.

These developers practice extortion in the guise of service charges, use intimidation and undermine the rights of tenants, behave autocratically, use threats of power and water outages to blackmail tenants, and are not transparent in their financial management, the group said.

"Members of our tenants' association are simply puppets of the developers, who act in their interests instead of in the interests of the apartment unit owners," FP-ARK Bumimas Apartment representative Hariadi Darmawan said.

The representative of FP-ARK ITC Mangga Dua, Ginting, charged that the trade center's developer, PT Duta Pertiwi, unilaterally increased service charges without first consulting kiosk owners.

The declaration, released Feb. 25, demanded that the developers immediately stop these unfair practices, urged the Indonesian Real Estate Association, together with Greater Jakarta residents, to boycott the properties of said developers, and asked the President and law enforcers to uphold the law against them.




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Apartment owners act against developers

City News - April 09, 2008

The Jakarta Post, Jakarta

Owners of apartment shops, offices and units across Jakarta are petitioning the city administration for support against the developers of their properties, accusing them of falsifying ownership documents and intimidation.

"We have received several complaints from owners, who feel they have been cheated by developers on ownership legality and building management," said Ibnu Tadji, chief of the Indonesian Association of Apartment Unit Owners, on Monday.

"We hope that with the government's mediation, and support from other institutions, we will be able to solve these problems," he told reporters at the Human Rights Commission office in Menteng, Central Jakarta.

The association was at the office to discuss the issue with representatives from the Public Housing Ministry, the Trade Ministry, the Indonesian Real Estate Association and the city administration.

"There are many cases where owners' certificates authorizing their use of the land, handed to them by the developer on purchase, turned out to be false and was actually a permit to manage land owned by the city administration. This deceitful practice has been kept up for years," he said.

Incorrect documents had been handed out to apartment owners in ITC Mangga Dua and Mangga Dua Court Apartments, he said.

There are also cases where developers have renewed the certificates under their own name, leaving the owners with no title over the land.

Owners complained developers are practicing extortion in the guise of "service charges", are using intimidation and are undermining the rights of tenants.

A shop owner at ITC Mangga Dua, who asked not to be named, said she has been asked to pay more than Rp 2 million (US$218) each month in service charges.

"They refuse to give detailed reports of how the money is being used. They can increase the fee without consulting us; and if we refuse to pay, they cut off our power and water supply," the owner said.


Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Masalah Di Balik Warkah Tak saling memahami.

Berlindung di balik kelemahan regulasi.

"PT Duta Pertiwi Tbk., menipu", demikian tajuk salah satu surat pembaca yang dimuat Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007. Surat pembaca itu ditulis salah seorang pengurus Perhimpunan Penghuni Apartemen Mangga Dua Court, dan menyita perhatian khalayak. Betapa tidak, PT Duta Pertiwi Tbk., merupakan pengembang bonafid dengan rekam jejak panjang dalam bisnis dan industri properti Indonesia. Terpublikasinya surat pembaca tersebut, secara langsung mempertaruhkan kredibilitas pengembang ini.

Menariknya, PT Duta Pertiwi Tbk., yang nota bene anak usaha Grup Sinar Mas, buka suara. Setelah selama ini tidak pernah menanggapi kasus atau yang menurut mereka masih dalam taraf isu. Melalui Corporate Communications General Manager Sinarmas Developer & Real Estate Dhony Rahajoe, mereka menyanggah gugatan dan tuduhan surat pembaca itu. Dalam edisi majalah yang sama berikutnya, Dhony menegaskan bahwa PT Duta Pertiwi Tbk tidak pernah melakukan penipuan terhadap konsumen dan selalu mengikuti peraturan yang berlaku.

Dijelaskan Dhony, sebelum akta jual beli (AJB) dibuat, PT Duta Pertiwi Tbk. (sebagai penjual) dan pembeli (pemilik kios) telah mengadakan kesepakatan bersama yang hanya mencakup obyek unit properti yang diperjualbelikan seperti harga, cara pembayaran dan jadual serah terima. Semua kesepakatan bersama ini dituangkan secara tertulis dalam perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Setelah PPJB disetujui dan ditandatangani para pihak, selanjutnya dilaksanakan penandatanganan AJB di hadapan notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Notaris/PPAT tidak akan mengesahkan AJB sebelum para pihak memahami, menyetujui dan menandatangani segala kondisi jual beli yang tertuang dalam AJB. "Jadi, tidak masuk akal, kalau mereka yang menggugat itu tidak mengetahui sama sekali kondisi properti yang ditransaksikan. Lha mereka menyetujui dan menandatangani kok. Berarti mereka memahami dong. Lagipula yang menggugat kami itu bukan pembeli pertama, melainkan pembeli kedua, ketiga dan bahkan ada pembeli keempat," ungkap Dhony.

Perseteruan terbuka tak berhenti di situ. Beberapa hari kemudian terlansir surat pembaca serupa yang ditulis Khoe Seng Seng dan dimuat di harian nasional bertiras besar. Secara umum, materinya sama dengan yang pertama, berisi gugatan terhadap PT Duta Pertiwi Tbk. Menurut mereka, pengembang milik konglomerat Muktar Widjaja ini telah melakukan penipuan. Mereka merasa PT Duta Pertiwi Tbk., sengaja menutupi status Hak Guna Bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan lahan (HPL). Lahan bersama dengan status HPL inilah yang digunakan untuk membangun superblok Mangga Dua yang terdiri atas pusat perdagangan ITC Mangga Dua, Apartemen Mangga Dua Court, perkantoran JITC dan ruko Mangga Dua. Yang mereka pahami, ketika PT Duta Pertiwi Tbk memasarkan propertinya, status kepemilikannya adalah hak milik strata title dengan status lahan bersama yang juga hak milik. Logikanya, jika sudah menjadi hak milik, untuk apa mereka diharuskan melakukan perpanjangan sertipikat hak milik.

Padahal sejatinya, HPL milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ini, terbatas jangka waktu berlakunya dan sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Dengan demikian, pemilik properti di atasnya harus memperpanjang atau memperbarui HGB-nya berdasarkan rekomendasi HPL kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Celakanya, masa berlaku HGB di atas HPL properti di superblok Mangga Dua tersebut sampai tahun 2008. Jika perbaruan hak tidak dilakukan, maka sesuai dengan konsideran PP 4 tahun 1988 Pasal 50, hapusnya hak atas tanah bersama akan mengakibatkan hapusnya pula hak milik properti di atasnya. Sontak saja, sejumlah pedagang dan pemilik kios resah bukan kepalang. Mereka berpikir properti yang dihakinya akan berubah, tidak lagi hak milik melainkan hak sewa. "Dan bisa saja pengembang menyewakan properti kami pada pihak ketiga tanpa sepengetahuan kami," ujar Fifi Tanang, salah seorang pemilik kios ITC Mangga Dua. Keresahan Fifi dan sejumlah pemilik kios lainnya merupakan puncak gunung es dari sekian banyak kasus kepemilikan strata title bermasalah yang ada di Indonesia.

Potret buram ini bahkan melibatkan sejumlah pengembang ternama. Katakanlah PT Lippo Development (sebelum berubah nama menjadi PT Lippo Karawaci), PT Bukit Sentul Tbk., PT Muzatek Jaya, Grup Agung Podomoro, PT Citicon Mitra Tanahabang dan PT Duta Pertiwi Tbk. Yang disebut terakhir ini adalah pengembang yang paling banyak dan sering terganjal masalah. Selain proyek properti strata title-nya yang terhampar di mana-mana, juga kompleksitas problema yang mencuat tak bisa dianggap remeh. Sebelum kasus Mangga Dua, PT Duta Pertiwi Tbk., sempat terseret namanya akibat dimejahijaukannya pengurus perhimpunan penghuni (PP) oleh para pemilik kios ITC Roxy Mas akhir 2005 lalu. Asal tahu saja beberapa pengurus PP ITC Roxy Mas merupakan profesional PT Duta Pertiwi Tbk.

Pertikaian hukum tersebut dipicu oleh perlakuan semena-mena pengurus PP dalam penentuan besaran service charge (biaya pemeliharaan gedung) yang terjadi pada tahun 2001. Puncaknya, pengurus PP diduga memanipulasi sertipikat kepemilikan kios yang berpotensi menghilangkan hak penghuni/pemilik atas kios mereka. Kasus ini berujung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang akhirnya dimenangkan oleh pengurus PP. Belum lagi menyeruaknya berita dugaan data manipulatif yang dilakukan Grup Agung Podomoro terhadap para pemilik apartemen Mediterania Palace Kemayoran. Mereka menuduh Grup Agung Podomoro melakukan penipuan dengan melaporkan data luas bangunan unit apartemen yang sama sekali berbeda. Terdapat perbedaan signifikan antara data luas bangunan yang tercantum di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan yang tercatat dalam Akta Jual Beli (AJB).

Sesungguhnya, menurut ahli hukum pertanahan Arie S Hutagalung, kasus strata title bermasalah tersebut tidak perlu ada, seandainya para pihak (pembeli/pemilik, pengembang, badan pengelola dan perhimpunan penghuni) memahami, menyadari dan mau melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Jika ini diabaikan, sampai kapan pun masalah yang berhilir pada konflik dalam properti strata title ini akan tetap ada. Padahal, antara badan pengelola, pembeli/pemilik, pengembang dan perhimpunan penghuni terdapat suatu hubungan fungsional yang fundamen. Di mana mereka harus bertanggung jawab bersama-sama atas penggunaan properti (kios, apartemen, mal, dan fungsi properti berstatus strata title lainnya) secara keseluruhan. Sebab potensi konflik itu akan timbul, tidak hanya pada masa pengelolaan/pemeliharaan setelah properti terbangun. Justru sejak dalam masa persiapan pembangunan seperti masa persiapan lahan, pemasaran, transaksi jual beli, dan pembangunan. Benar adanya, pada masa pengelolaan, akan lebih banyak timbul masalah. Terbukti kasus-kasus yang menyembul ke permukaan adalah melulu konflik yang terjadi antara pemilik/pembeli dan pengelola. Sebab, masalah pengelolaan ini adalah klausul yang terpenting. Dalam sistem kepemilikan strata title, baik kondominium, apartemen, kios, mal atau fungsi properti lainnya, suatu saat tertentu akan ditinggalkan oleh developer­-nya. Sehingga pengembang ini dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya dan sama sekali tidak bisa diserahkan kepada Pemda seperti halnya fasilitas sosial atau fasilitas umum dalam sebuah perumahan (landed house). Kalau sudah begitu, siapa yang mau mengelola?

Inilah yang perlu dipikirkan, apakah pemilik dan penghuni properti strata title siap melaksanakan pengelolaan ini. Mengingat legal consciousness dan legal dicipline masih jauh panggang dari api. Belum lagi administrasi pertanahan yang masih carut marut. Nah, menilik kasus ITC Mangga Dua, menurut analisa Ketua Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo, kemungkinan besar yang terjadi adalah PT Duta Pertiwi Tbk, cenderung tidak memberikan informasi secara transparan pada saat masa transaksi jual beli. Pun pada saat penandatanganan kesepakatan AJB. Karena di situ tidak dicantumkan status HGB di atas HPL. Dhony mengatakan asal usul tanah bersama itu hanya tertuang dalam kolom catatan pada masing-masing sertipikat hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) yang tertulis nomor dan tahun warkah. Warkah ini adalah sertipikat HGB tanah bersama yang di dalamnya terdapat keterangan tentang HGB di atas HPL. Ada pun warkah ini diserahkan pada pembeli setelah kios (properti)-nya dibayar lunas. Dari keterangan ini jelas terungkap bahwa ternyata, analisa Erwin ada benarnya. "Pengembang tidak menjelaskan bagaimana status lahan bersama ITC Mangga Dua sejak awal. Baik lisan maupun tertulis. Seharusnya keterangan status HGB di atas HPL juga sudah tertuang baik dalam PPJB maupun AJB. Meski belum ada regulasi yang mengaturnya. Ini masalah iktikad baik," ujarnya.

Meski PT Duta Pertiwi Tbk mengklaim pihaknya telah melakukan proses transaksi dengan konsumen sesuai prosedur, namun dinilai Erwin tidak serta merta permasalahan laten dapat diabaikan begitu saja. Permasalahan laten dimaksud adalah informasi sensitif yang dapat mempengaruhi prestasi penjualan. Jika PT Duta Pertiwi Tbk., betul telah memberikan informasi secara transparan, dan apa adanya, apakah mungkin ITC Mangga Dua bakal laris seperti saat ini? Selain itu, lanjut Erwin, tak cuma PT Duta Pertiwi Tbk., pengembang lain pun acapkali pelit berbagi informasi yang menyangkut hak konsumen, seperti kapan konsumen menerima sertipikat strata yang sudah terpisah, berapa ganti rugi yang akan diberikan kepada konsumen jika pengembang cedera janji atau wanprestasi, dan sebagainya. Tidak Terakomodasi Inilah kelemahan regulasi rumah susun yang memang sejatinya dirancang untuk kepentingan rumah susun sederhana (strata title hunian). Berhubung perkembangan bisnis dan industri properti sangat dinamis, sementara regulasi yang ada tidak mengakomodasi semuanya, maka yang terjadi kemudian adalah konsideran yang berlaku (UU Rumah Susun No. 16 tahun 85 dan Perturan Pemerintah No.4 tahun 1988) harus mengatur dengan kapasitas terbatas. Akibatnya konflik-konflik yang timbul dan berkembang kemudian tidak (belum) terselesaikan secara final. Selalu saja ada masalah ikutan yang menyertai masalah awal. Ironinya, regulasi tersebut menjadi majal ketika dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh tidak saja pengembang juga pengelola dan pemilik/penghuni. Padahal potensi konflik yang bakal timbul akibat persinggungan setelah properti strata title itu terbangun sangat besar, beragam dan lebih kompleks. Apalagi properti strata title sekarang sudah berkembang penggunaannya tidak hanya untuk hunian, juga non hunian (komersial) dan fungsi campuran. Tentu saja, ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi dalam kelnjutan hidup bersama dalam properti strata title tersebut dan potensial terjadinya pelanggaran persyaratan administratif atas ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Potensi Konflik Dalam Properti Strata Title Untuk properti strata title non hunian, masalah akan timbul tatkala membentuk Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Kriteria penghuni tidak tercakup dalam peraturan perundangan yang ada, karena untuk strata title non hunian, satuan rumah susun (SRS) tidak dihuni 24 jam. Dan khusus untuk perkantoran terdapat kemajemukan karena pegawai kantor secara gradual dapat selalu berubah baik dari segi jumlah maupun personalianya. Sedangkan untuk properti strata title campuran, pembentukan PPRS sangat sulit disatukan antara PPRS hunian, PPRS perkantoran dan PPRS pusat belanja/pertokoan. Bukan saja karena perbedaan pengunaan SRS-nya, juga heterogenitas penghuni baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya. Di lain pihak, belum ada ketentuan khusus yang memberi peluang adanya beberapa PPRS dalam satu lingkungan properti strata title. Karena konstelasi bisnis yang selalu berubah, konsekuensinya ada beberapa fungsi properti yang diubah statusnya. Dari sebelumnya properti strata title menjadi serviced apartment atau hotel. Jika ini dilakukan hanya pada satu bangunan strata title yang meliputi satu lingkungan, maka akan terjadi ketimpangan pada pembentukan PPRS. Karena bangunan yang disewakan, seluruh Nilai Perbandingan Proporsional (NPP)-nya dimiliki pengembang. Sehingga mereka mempunyai suara mayoritas dalam menentukan kehidupan bersama dalam properti strata title. Potensi konflik juga akan mudah ditemukan pada gedung bertingkat yang mengalami perubahan sistem kepemilikan individual ke sistem SRS. Ini belum ada ketentuan pastinya. Apakah perubahan tersebut dimungkinkan atau tidak. Bila dimungkinkan, pastinya akan terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi. Perubahan ini juga pasti menimbulkan konsekuensi aktual pada perubahan struktur bangunan, termasuk persyaratan-persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan regulasi yang ada.

Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Rabu, 04 Juni 2008

Devil in details of apartment ownership


Agnes Winarti , The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 06/02/2008 10:20 AM | City

HIGH RISK: This photo file shows apartments in the Semanggi area, South Jakarta. Amidst of an oversupply of apartments in the city, tenants need to invest time to carefully checking what is being offered before investing money to buy a unit. (JP/P.J. Leo) HIGH RISK: This photo file shows apartments in the Semanggi area, South Jakarta. Amidst of an oversupply of apartments in the city, tenants need to invest time to carefully checking what is being offered before investing money to buy a unit. (JP/P.J. Leo)

Buying a high-rise unit is apparently not as simple as a common house, where land is automatically included in the transaction.

But becoming a property-savvy customer means one must take care to spend extra time and energy, for example, understanding all the necessary legal papers, the planned facilities and unit specifications.

"Customers need to know the ownership status of land on which a high-rise building stands," Association of Apartment Occupants in Indonesia (APERSSI) secretary-general Aguswandi Tanjung told The Jakarta Post recently.

"Some tenants are unaware of their property's land status for years, because they think buying a high-rise unit is just the same as buying a house on land."

"A strata title certificate only refers to the apartment units and does not automatically include entitlement to part of the land (on which they are built)," he said.

"Unfortunately, many customers are uninformed and many developers are not transparent," Aguswandi said.

According to the 1985 law on high rise buildings, an apartment may be constructed on land under various titles, including Hak Milik (Freehold), Hak Guna Bangunan -- HGB (Lease Hold or the Right to Build), Hak Pakai (Right to Use) or Hak Pengelolaan -- HPL (Right to Manage).

"There is no regulation obliging developers to voluntarily reveal the land status of their high-rise property," PT Property Advisory Indonesia (PROVIS) consultant Nonny Subeno told the Post.

"However, developers must be honest whenever there is a query because customers have the right to know," she said.

If customers purchase high-rise units built on land under a Right to Build (HGB) certificate or a Right to Manage (HPL) certificate, they risk losing their units if the original land owners (usually the administration) decide to reclaim it.

Currently around 8.7 percent of existing apartments in Jakarta (or 5,170 units) are built under such arrangements, Nonny said.

Another 3,900 units were proposed or under-construction with a similar land status, she added.

State-owned land is usually utilized by developers using HGB or HPL titles, under which both parties sign a Build-Operate-Transfer (BOT) contract.

Nonny cited several areas where developers built apartments under Build-Operate-Transfer (BOT) contracts with the government or other land owners, like Gelora Bung Karno, Landas Pacu Kemayoran, Ancol and the ex-Hotel Indonesia.

Some land owners, she said, are unaware of the consequences of that specific land ownership status.

"They own the unit, but they do not own the land underneath it," she said.

Nonny said the safest option for customers was to buy an apartment unit built on land with a full Lease Hold status, which accounts for the majority of apartments in Jakarta.

Nevertheless, Lease Hold property owners must extend their right status every 20 to 30 years, she said.

"Lease Hold property, as well as property with the status of Right to Build On / Right to Manage under BOT contracts, will never be eligible for strata-title certificates and can only hold a Lease Agreement -- so they cannot be offered as collateral for bank loans," Nonny said.

Property built on land claimed by several owners is not recommended for purchase, Jones Lang Lasalle Indonesia research head Anton Sitorus said.

"Besides the land status, customers must also check whether developers have complete permits."

Legal aspects could include building permits (IMB) and building-use permit (IPB), he said.

"Ideally an IMB has already been obtained before the construction begins, but in reality many projects start while still in the process of applying for a permit," Anton said.

Nonny also warned customers to be careful of what she called 'heavenly promises' of marketing officers, usually concerning unit specifications.

"Everything in the display units is always far better than the real ones. Customers must make sure all the specifications -- like the types of tiles, wood, paint and even the toilet -- are in a booking form attached in the sales and purchase agreement," she said.

"Do not just count on their spoken promises," Nonny added.

"Without written agreements, customers will not get any compensation ... after construction is complete."

She also warned customers to look out for architectural concepts offered in developer brochures, because most "contain disclaimers that state everything is 'subject to change'."

Most new high rise buildings in Jakarta are sold before they are constructed, Nonny said.

"There has not been any clarity in terms of consumer protection. Regulations are still in favor of developers, not customers," she said.

University of Indonesia professor of architecture Gunawan Tjahjono told the Post recently that customers must also check facilities in high-rise structures, like children's play areas, community halls, and particularly fire safety features like smoke detectors and fire stairs.

"These seem to be regarded as 'trivial' matters which are often forgotten by developers and architects," said Gunawan, who is also a member of the City Architecture Advisory Team.

"Developers and architects must realize they are designing the life of a community, not just building structures," he said.

With developers prioritizing high and quick returns, he said, many ignored the environment and life-cycle of their buildings.

According to World Health Organization, Gunawan cited, the standard green space requirement for each individual is 25 square meters, which is impossible in Jakarta.

"Well designed apartments are hard to find here," he said.

"Most of them are still high-cost and use large amounts of energy instead of applying green architecture concepts, so they are not healthy places to live in."

Apartment buying check list

The property's legal status including its land title certificate, building and other permits

Developer identity and track record

Property location and access

Facilities provided in the compound and other supporting social and commercial facilities

Floor plan and quality of unit

Dimensions and area of the unit and any service charges (which usually depends on the unit size)

Construction time line, i.e. when will the unit be transferred to the buyer and what are the penalties if the developer exceeds the deadline

Property maintenance management

Inspection of the actual site at various times of day (morning, noon and night) -- It is important to check the area around the apartment.

Examination of the display unit to check the quality of a planned unit. Usually, developers aim to make a display unit that will impress customers. For this reason, it is recommended to ask for details from marketing agents; Which parts of the display unit will be realized? If the developer does not provide a display unit, but has good track record, customers should ask for written specification of their unit to be attached to the booking form.

Apartments with clear ownership rights, like a full Lease Hold land title, usually have higher prices than apartments on a land with Rights to Build On (HGB) Rights to Manage (HPL) or BOT certificates. Customers must ask for clear answers on these issues: price and land status.

After customers agree on the apartment type and price, they would be asked to sign a booking form (Surat Pesanan or SP), and to pay a booking fee. It is recommended to ask for the list of specifications of the unit, including walls, tiles, electricity, water heater, kitchen -- basically everything that will be provided in the unit.

After signing the SP, customers will be asked for a down payment or other payment terms in accordance with the mutual agreement.

After they have paid between 10 and 20 percent of the sale price, customers will have to sign a sales and purchase agreement or PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli).

After the payment is complete, the customer must sign a Final Sales and Purchase Agreement or AJB (Akte Jual Beli).

Derita Pedagang di Balik Gemerlapnya Pusat Perdagangan



Karta, Cong Sian Moy, dan ratusan pedagang onderdil lainnya di pertokoan Wisma Sawah Besar (WSB), Jakarta Pusat, bingung tujuh keliling. Sudah lima bulan ini sambungan listrik dan telepon mereka diputus sepihak oleh pihak PT Muzatek Jaya, pengelola pertokoan WSB.



Akibat pemutusan kedua fasilitas vital tersebut, para pedagang harus kehilangan 70 persen pendapatannya.

Pemutusan tersebut merupakan buntut penolakan pemilik kios atas upaya "pemerasan" yang dilakukan pengelola. Menurut Karta, secara tidak masuk akal, PT Muzatek memaksa para pedagang membayar perpanjangan sertifikat hak guna bangunan (HGB) sebesar Rp 1,5 miliar. Padahal, ketika dicek ke kantor Pertanahan Jakarta Pusat melalui keterangan kepala kantornya, biaya resminya hanya Rp 97,3 juta.

Selain meminta biaya sertifikat HGB yang sangat besar, pengelola juga selama ini meminta biaya operasional gedung (service charge) yang sangat memberatkan dan tidak wajar. Sejumlah toko ditutup paksa akibat menolak keinginan pengelola, bahkan secara diam-diam toko yang ditutup itu disewakan ke pihak lain.

Menurut Cong Sian Moy, upaya pemerasan dan intimidasi yang dilakukan pengelola itu, sebetulnya bagian dari muslihat pengelola untuk mengusir pedagang yang sudah mendiami pertokoan WSB sejak 1977 itu. Para pedagang membeli toko dengan perjanjian jual-beli yang saling menguntungkan.

Kondisi berubah setelah pada awal 1990-an, sebagian besar saham PT Muzatek dibeli oleh kelompok usaha Humpuss. Dengan berbagai cara, pengelola berusaha mengambil alih kepemilikan toko.


Dilaporkan ke Polisi

Konflik antara pedagang dan pengelola pusat perdagangan juga terjadi di Pusat Perdagangan (ITC) Roxy Mas, Jakarta Pusat. Pertengahan Januari 2006 lalu, ketua Perhimpunan Penghuni Rusun Campuran ITC Roxy Mas, Kent Wijaya melaporkan sejumlah penghuni ke Polda Metro Jaya karena dianggap telah memfitnah pihaknya.

Sejumlah pemilik kios di ITC Roxy Mas, dianggap telah memfitnah dengan mengatakan Kent Wijaya dan kawan-kawan sesama pengurus telah memanipulasi dana yang disetorkan para penghuni/pemilik kios.

Menurut pengacara Kent Wijaya, Zulfahmi, para penghuni ITC Roxy Mas, yang dimotori Aguswandi Tanjung, telah menulis surat kepada ketua DPRD DKI, Gubernur DKI Jakarta, dan YLKI berisi fitnah yang tidak berdasar. Tudingan kecurangan Ketua PPRS ITC Roxy Mas yang dilayangkan Agus dan kawan-kawan telah mencoreng nama baik kliennya. "Kasus ini harus dituntaskan melalui jalur hukum," ujar Zulfahmi.

Tiga orang pemilik kios pun diperiksa Polda Metro Jaya sebagai saksi.

Pada saat bersamaan pihak penghuni, yang dimotori Aguswandi Tanjung, tengah meminta peninjauan kembali surat penghentian penyidikan perkara (SP3) kasus penggelapan laporan administrasi keuangan oleh PPRS ITC Roxy Mas. Penggelapan tersebut, meliputi dana sinking fund, penghasilan area publik, dan laporan biaya perpanjangan sertifikat induk.

Pihak Polda merespons laporan tersebut, dengan melakukan gelar perkara pada 20 April 2006 lalu.

Kasus aksi saling lapor, sepertinya masih akan menempuh perjalanan panjang, mengingat kedua pihak mengklaim memiliki bukti-bukti yang kuat. Aksi saling lapor ini merupakan babak baru pertikaian hukum di antara kedua belah pihak.

Sebelumnya, para penghuni/pemilik kios pernah menggugat PPRS ITC Roxy Mas dengan tuduhan memanipulasi sertifikat kepemilikan kios yang berpotensi menghilangkan hak penghuni/pemilik atau kepemilikan kios mereka.

Gugatan yang berujung di pengadilan itu, akhirnya dimenangkan oleh pihak PPRS melalui ketukan palu majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir 2005 lalu. Pihak Kent Wijaya saat itu meminta penghuni menaati putusan pengadilan.

Sementara pihak Aguswandi Tanjung menuding banyak kejanggalan dalam putusan itu dan melakukan perlawanan hukum hingga saat ini. Perseteruan itu sendiri sudah dimulai sejak pertengahan 2001 silam, saat penghuni/pemilik kios menggugat biaya service charge yang mencekik leher.

Berbeda dengan rekan-rekannya di ITC Roxy Mas, meski resah, para pedagang di ITC Mangga Dua belum berani menempuh jalur hukum untuk melawan kesewenang-wenangan pengelola. Menurut Winny Kwee, salah seorang pemilik kios di ITC Mangga Dua (MD), pihak pengelola berhasil menakut-nakuti penghuni dan memecah-belah mereka.

Jika ada penghuni yang melawan kebijakan pengelola, intimidasi, mulai dari pemutusan sambungan listrik dan telepon hingga tekanan psikologis, pun dilakukan. Sementara sebagian penghuni yang kritis dibungkam dengan konsesi pembagian keuntungan penyewaan koridor, area lobby, maupun ruang pamer kepada para pedagang kaki lima.

Setiap pedagang kaki lima menyewa tempat Rp 6 juta/m2/ bulan. Dari harga sewa itu, penghuni kritis yang berhasil dibungkam memperoleh bagian Rp 2 juta/m2/bulan.

Menurut Kwee, penderitaan pedagang di ITC MD bukan hanya karena biaya servis yang kelewat mahal semata, namun juga karena akses pembeli ke kios tertutup oleh keberadaan pedagang kaki lima.

Ironisnya lagi, para pemilik kios harus menanggung seluruh biaya operasional gedung (service charge), termasuk yang digunakan pedagang penyewa bagian bersama di ITC MD itu.

Belum lagi lahan parkir yang habis digunakan oleh bukan pengunjung sehingga pengunjung yang datang ke kios makin sepi. Akibat berbagai kebijakan itu, pemilik kios pun harus menderita kerugian yang sangat besar.

Keluhan yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh para pedagang di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan. Menurut Inge, salah seorang pemilik kios di ITC Permata Hijau, pihak pengelola juga menerapkan kebijakan yang memberatkan pemilik kios. Parahnya lagi, saat ini belum ada perhimpunan pengurus sebagaimana diamanatkan undang-undang.


Preseden Buruk

Berbagai kasus yang mencuat di sejumlah pusat perdagangan menurut anggota Komisi B DKI Jakarta Nurmansyah Lubis merupakan preseden buruk yang harus diselesaikan. Keberadaan para pedagang sebagai salah satu pilar perekonomian bangsa, harus dijamin hak-haknya sesuai peraturan yang berlaku.

Anca, panggilan mantan auditor BPKP itu, mendesak Pemprov DKI segera menuntaskan kasus-kasus ini dengan seadil-adilnya.

Melihat rentetan kasus per kasus, Anca melihat ada kesamaan modus dan juga pelaku yang mengarah ke segelintir pengembang yang sepertinya sengaja melakukan praktik-praktik haram. Para pedagang diiming-imingi berbagai macam fasilitas sehingga tergiur membeli kios di pusat perdagangan yang mereka dirikan, setelah itu mereka dijebak dengan berbagai macam aturan yang menyulitkan posisi pedagang.

Anca melihat, modus ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan dijadikan ajang menumpuk kekayaan bagi pengembang tersebut. Hebatnya lagi, praktik ini tak pernah tersentuh hukum sehingga kuat dugaan melibatkan oknum pejabat Pemprov DKI.

Oleh karena itu, ia meminta gubernur menertibkan anak buahnya jika terbukti terlibat praktek pemerasan terselubung semacam itu. "Jika dibiarkan, preseden ini akan menjadi ancaman bagi pembangunan perekonomian di DKI Jakarta," ujarnya


Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Developers not to be trusted: Tenants tell of dodgy deals

Agnes Winarti , The Jakarta Post , Jakarta | Mon, 06/02/2008 10:20 AM | City

After living in her apartment in South Jakarta for more than a year, Novita Ari Wardani, 28, found that the water she had been using was groundwater and not from a water company.

She and her neighbors then came upon another hitch; state electricity firm PLN told them it would cut off their power supply because the bills had never been paid.

"It was really upsetting to learn that all this time the developer has never used the money we were charged to pay the bills," she said.

On doing some calculations, Novita then discovered the developer had been charging them more than what they were supposed to pay.

"I don't think there is an honest developer, so we, as consumers, must be really cautious when dealing with them," she said.

Novita paid Rp 600,000 (US$65.9) a month to cover water and electricity bills, as well as a Rp 450,000 per month service charge for her 42-square-meter unit. All this money was collected by the developers, she said.

The same developers were also using electricity and water for their laundry and caf* businesses, and making the tenants pay for it, Novita said.

"They are charging us more money, when it should have been the developer who rented the facility from us."

A 1998 law on apartments states that within a year of service, developers must leave the apartment and allow occupants to establish an association to manage any public facilities like water, electricity and commercial spaces.

Legal matters are another problem for Novita and her neighbors.

Upon payment, the developers promised to give owners certificates within three months. Three months passed, but the certificates were never provided, she said.

So, she and 20 fellow apartment owners organized a protest against the developer.

"We later found out that the developer was using our certificates as collateral for a loan," said Novita, who finally got her certificate 13 months after she paid for her unit in full.

Novita said she had not got a written promise because she trusted the developers.

"This was my first time buying an apartment and because they were so convincing I just trusted them."

Nonny Subeno, residential marketing consultant for PT Property Advisory Indonesia (Provis), said, "Customers must be aware that everything developers promise needs to be put in writing because there are so many mischievous developers out there".

The National Land Agency (BPN) usually authorizes strata title certificates for apartments within 6 to 12 months after construction is complete.

Without written evidence, it is difficult to prove the developers are guilty, she told The Jakarta Post.

Nonny said, any public facilities, like supermarkets, laundries, community halls, fitness centers, swimming pools and caf*s, must be left to be managed by an occupants association which must be established within one year after the building construction work is complete.

"Developers are obliged to entrust all public facilities to the association," Nonny said.

Due to most customers' lack of awareness of this matter, many developers have created separate certificates for public facilities so they can be excluded from owners' rights, Nonny said.

"So developers can have commercial activities in the facility without any obligation to pay rent to the occupants association."

"Most developers want to reap unlimited profits from both selling units and managing the building. They regard apartment occupants as gold mines," Secretary General of Association of Apartment Occupants in Indonesia (APERSSI) Aguswandi Tanjung told the Post.

Around half of the apartments in Jakarta did not have an occupants association or a neighborhood or community organization, he said.




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Kontributor