Jumat, 18 Juli 2008

Rusunami tak capai sasaran

Orang mampu yang tamak, cap ini rasanya tepat diberikan kepada kalangan
berpunya di Jakarta yang menyerbu rumah susun sederhana milik (rusunami)
bersubsidi. Lihat saja pameran properti yang digelar baru-baru ini di Ibu Kota.
Yang datang naik kendaraan umum atau sepeda motor malah bisa dihitung dengan
jari. Lahan parkir gedung pameran penuh dengan mobil-mobil baru-beberapa di
antaranya tergolong mobil mewah.
Bagi orang-orang itu, uang muka (down payment) Rp1 juta sampai Rp3 juta
bukan persoalan. Mereka meninggalkan ruang pameran dengan setumpuk brosur dan
juga kuitansi pembayaran uang muka.

Mereka datang, lihat, bayar... Tidak sedikit di antara mereka yang
membayar untuk beberapa unit yang tersebar di sejumlah rusunami.

Yang menjadi incaran adalah rusunami bersubsidi di kawasan perkantoran
atau perdagangan dengan prospek bagus untuk ditinggali (disewakan atau
diperjualbelikan) dan berbisnis. Itulah sebabnya rusunami Gading Nias, Kebagusan
City, dan Kalimalang Residences, laku keras.

Gairah orang mampu membeli rusunami tidak terlepas dari gerakan kembali ke
Jakarta. Tingginya harga bahan bakar kendaraan dan kemacetan lalu lintas yang
parah di hampir semua ruas jalan di Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Depok
membuat orang mempertimbangkan untuk tinggal tidak jauh dari kantor.

Jika tinggal di wilayah pinggiran dan harus bekerja di Jakarta, Anda
memikul beban biaya transportasi yang semakin mahal. Fisik pun berpotensi
mengalami kelelahan yang luar biasa karena harus menempuh perjalanan berjam-jam.

Sebagai bangsa merdeka, sah-sah saja orang berpindah tempat tinggal sesuai
dengan keinginannya. Masalah muncul ketika orang kemudian mengambil tempat
tinggal yang sebenarnya bukan haknya.

Program rusunami bersubsidi jelas-jelas ditujukan bagi kalangan kurang
mampu, dengan salah satu tujuannya adalah mengatasi kondisi tempat tinggal
kalangan bawah yang jauh dari layak. Lingkungan yang padat, kumuh, kotor, tanpa
air bersih yang memadai, dan tanpa sistem ventilasi dan drainase yang baik
merupakan tempat berkubangnya penyakit fisik dan jiwa.

Program rusunami bersubsidi telah dijalankan oleh hampir semua kota besar
di dunia yang menghadapi masalah kependudukan. Dalam soal ini, kita bahkan
terlambat dibandingkan dengan kota besar lainnya di negara berkembang.

Pemerintah pasti telah memikirkan persyaratan yang ketat agar rusunami
bersubsidi tidak jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak, tetapi selalu saja
maling lebih pintar daripada polisi. Kita mendengar ada keluarga yang membeli
sampai enam unit di sebuah rusunami saja.

Hal ini membenarkan sinyalemen Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch
Ali Tranghanda bahwa orang yang tadinya mengincar hunian bernilai Rp500 juta
kini beralih ke rusunami yang harganya cuma Rp144 juta per unit. Artinya, mereka
itu kalangan berduit, tetapi beralih membeli rusunami karena murah dan memiliki
prospek bagus sebagai sarana investasi. Hasil riset Procon menunjukkan pembeli
dari kalangan investor mencapai 40%.

Jika pemerintah tidak tegas menghadapi praktik semacam itu, kita akan
menyaksikan Jakarta yang penuh dengan tower rusunami bersubsidi, yang tidak
diikuti oleh hilangnya kawasan permukiman kumuh. Jika demikian, tidak ada
gunanya pemerintah memberi subsidi untuk rusunami karena yang menikmati adalah
kaum berpunya.

Kita mendesak pemerintah agar rusunami bersubsidi benar-benar ditinggali
oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Caranya, dengan membuat harganya lebih
terjangkau kalangan bawah. Masih berat bagi mereka membayar hunian senilai Rp144
juta. Lebih baik jika warga korban gusuran mendapatkan prioritas.

Mereka inilah yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal yang sehat dan
manusiawi. Perlu ditindak tegas orang mampu yang memborong sampai berunit-unit.



Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

1 komentar:

johan_li3 mengatakan...

saya setuju

Kontributor