Minggu, 27 April 2008

Penghuni Apartemen Merugi Rp 5 Triliun

Pengelolaan Tak Transparan


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0610/11/jab01.html

Oleh
Rafael Sebayang

Jakarta – Sebagian besar pengembang apartemen di Indonesia terindikasi melakukan tindakan penggelapan atau mark-up dengan kedok service charge (biaya pengelolaan) yang dikenakan kepada pemilik maupun penyewa apartemen.
Pemilik dan penyewa apartemen diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 5 triliun setiap tahunnya.
Dari sekitar 100 lebih blok atau lokasi apartemen untuk hunian maupun gedung niaga yang tersebar di Jakarta, 80-90% di antaranya masih dikuasai pengembang melalui "tangan-tangannya" dan dinilai tidak pernah transparan dalam pertanggungjawaban keuangannya.
Ketua Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Taji mengungkapkan hal ini kepada SH, Selasa (10/10).
Dia mengatakan, khusus bagi apartemen yang pengelolaannya sudah diserahkan kepada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), modus yang biasa digunakan pengembang guna mereguk keuntungan dari pemilik maupun penyewa apartemen dilakukan dengan cara menempatkan grup-grup yang berafiliasi dengan pengembang sebagai pengelola.
"Tak hanya itu, pengembang juga menetapkan orang-orangnya sebagai pengurus PPRS untuk menjalankan kebijakan-kebijakan seperti pembayaran service charge ataupun kebijakan lain yang menguntungkan pengembang," tutur Ibnu.
Padahal, tambah Ibnu, seperti diamanahkan Undang-Undang No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, pengurus PPRS harus berasal dari setiap pemilik unit-unit apartemen dan dipilih oleh penghuni yang tinggal di apartemen itu sendiri. Selain itu, dalam undang-undang tersebut juga ditekankan bahwa pengembang berkewajiban memfasilitasi penghuni membentuk PPRS.
"Tapi kenyataannya, mereka malah menciptakan sikap absolut dan hegemoni guna menguasai kembali tanah yang sudah mereka jual," tandas Ibnu.
Terkait service charge yang dikenakan kepada pemilik atau penyewa apartemen, Ibnu menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada ketentuan yang mengatur pemilik atau penyewa diwajibkan membayar service charge.
Adapun yang seharusnya berlaku menurut Ibnu adalah penarikan dalam bentuk iuran yang tujuannya bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk kepentingan bersama. "Konsep iuran adalah konsep sosial seperti di RT atau RW yang tidak mencari keuntungan. Berbeda dngan service charge yang jelas-jelas mencari keuntungan," tuturnya.
Dia mengatakan, terkait permasalahan tersebut, saat ini penghuni Apartemen Mediterania dan Apartemen Bumi Mas Mega Prima telah melaporkan masing-masing pengembangnya ke Polda Metro Jaya terkait kasus penggelepan.
Yang menjadi permasalahan menurut Ibnu, baik pemerintah pusat melalui Kementerian Perumahan Rakyat maupun Dinas Perumahan DKI Jakarta cenderung sengaja membiarkan hal itu terjadi. Sebagai contoh, UU No 16 Tahun 1985 yang dianggap sudah tidak dapat mengakomodasi kondisi saat ini masih tetap dibiarkan berlaku.
Demikian halnya di tingkat provinsi, sesuai ketentuan maka pengesahan pengurus PPRS harus dilantik gubernur. Namun, yang terjadi selama ini pembentukan dan pelantikan pengurus PPRS dilakukan secara ilegal karena dilakukan wakil-wakil developer yang sengaja ditempatkan di apartemen tertentu. "Sementara Dinas Perumahan DKI Jakarta yang diundang dalam rapat-rapat untuk mengungkap permasalahan ini tidak ada aksinya. Sebaiknya masyarakat berhati-hati," ujarnya. n

Copyright © Sinar Harapan 2003


Tidak ada komentar:

Kontributor