Rabu, 23 April 2008

PN Jakut Hembuskan ‘Angin Surga’ Kebebasan Pers

PN Jakut Hembuskan ‘Angin Surga’ Kebebasan Pers
Gugatan Surat Pembaca

[1/4/08]

Majelis hakim mengabulkan dan sependapat dengan eksepsi tergugat bahwa gugatan bersifat prematur karena semestinya diselesaikan via mekanisme pers terlebih dahulu.

Pengadilan memang benar-benar dunia antah-berantah yang sulit ditebak kemana arahnya. Hari ini memutus A, besok bisa menjadi B untuk perkara serupa. Situasi tidak menentu ini sangat dirasakan oleh kalangan pers yang bertahun-tahun tiada henti memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan pers. Salah satu yang santer diperjuangkan adalah anti kriminalisasi terhadap pers. Faktanya, banyak putusan pengadilan yang pro KUHP ketimbang UU Pers. Nasib Bersihar yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Depok menjadi contoh mutakhir maraknya aksi kriminalisasi pers di Indonesia.

Di tengah-tengah kondisi yang memprihatinkan, ternyata masih tersisa hembusan ‘angin surga’ bagi kalangan pers. Hembusan itu berasal dari PN Jakarta Utara yang menyatakan gugatan PT Duta Pertiwi terhadap Kwee Meng Lian alias Kwee Meng Luan alias Winny tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Winny adalah satu dari empat orang –tiga orang lainnya adalah Khoe Sengseng, Fifi Tanang, dan Pan Esther- yang digugat oleh Duta Pertiwi gara-gara surat pembaca.

Winny cs mengirimkan surat pembaca ke sejumlah media cetak seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Warta Kota karena merasa dikecewakan oleh Duta Pertiwi. Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, perseteruan ini terjadi karena Duta Pertiwi dituding tidak menerangkan secara jujur tentang status tanah ITC Mangga Dua. Winny cs selaku pemilik kios di sana merasa tertipu karena tanah itu ternyata milik Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Padahal, ketika kios itu dibeli Winny cs diberi informasi status tanah tersebut adalah HGB murni, bukan HGB di atas HPL.

Tidak hanya mengirim surat pembaca, Winny cs pun melayangkan laporan ke Kepolisian dengan tuduhan telah melakukan delik penipuan. Namun, laporan tersebut kandas seiring dengan diterbitkannya SP3 oleh Kepolisian dengan alasan tidak cukup bukti. Aksi Winny kemudian berujung pada gugatan perdata. Duta Pertiwi menganggap Winny cs melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik. Untuk itu, Duta Pertiwi meminta majelis hakim agar Winny dihukum membayar ganti rugi materil dan immateril sebesar Rp11 miliar. Tidak hanya itu, Duta Pertiwi pun meminta sita jaminan terhadap tanah dan bangunan milik tergugat.

Pertimbangan Majelis

Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai oleh R. Unggul Warso Murti menyatakan sependapat dengan dalil yang disampaikan tergugat dalam eksepsi, bahwa gugatan bersifat prematur. Pertimbangan majelis juga merujuk pada keterangan ahli Bambang Harymurti, Corporate Editor in Chief Kelompok Tempo Media, bahwa semua berita yang ditulis dan diterbitkan media tunduk pada UU Pers. Maka dari itu, pihak manapun yang merasa keberatan semestinya menggunakan mekanisme hak jawab untuk dimuat pada media yang bersangkutan.

“Penyelesaian sengketa antara penggugat dan tergugat seharusnya ditempuh melalui mekanisme hak jawab, karena penggugat belum menempuh mekanisme hak jawab maka gugatan penggugat bersifat prematur atau terlalu dini,” papar Ketua Majelis.

Selanjutnya, majelis juga menyatakan kedudukan penggugat tidak memenuhi syarat sebagai pihak dalam perkara karena yang dilaporkan ke polisi adalah Muktar Widjaja yang kebetulan adalah Wakil Direktur Duta Pertiwi, sebagaimana didalilkan tergugat. Terlebih lagi, dalam surat kuasa penggugat tertanggal 5 Juni 2007, nama Muktar tidak termasuk sebagai pihak pemberi kuasa. Dengan dikabulkannya eksepsi tergugat, maka majelis menyatakan gugatan rekonpensi pun tidak dapat diterima.

Kabar Gembira

Seusai pembacaan putusan, kuasa hukum tergugat dari LBH Pers menyatakan menyambut baik putusan majelis. Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers, memandang putusan ini sebagai kabar gembira bagi kebebasan pers. Pertimbangan majelis yang mengakui keberadaan UU Pers, menurutnya, membuktikan bahwa ternyata lembaga peradilan bukanlah kuburan bagi pers seperti yang selama ini dipersepsikan sejumlah kalangan.

“Mudah-mudahan putusan ini bisa diikuti oleh pengadilan lainnya,” harapnya. Hendrayana pantas berharap karena selama ini lembaga pengadilan justru seringkali tidak pro pada kebebasan pers. Sejumlah pengadilan dalam putusannya cenderung lebih mengedepankan KUHP atau undang-undang lain ketimbang UU Pers.

Ekspresi senang juga tidak kuasa disembunyikan oleh Winny. Dia mengatakan putusan majelis membuktikan bahwa pengadilan masih menyisakan asa bagi masyarakat pencari keadilan. “Khususnya, masyarakat kecil seperti kami yang seringkali tidak kuasa melawan perusahaan besar,” tandasnya. Walaupun senang, Winny mengaku tidak sepenuhnya puas karena tindakan Duta Pertiwi terhadap dirinya dan pemilik kios lainnya, telah menguras banyak energi dan biaya yang tidak sedikit.

“Belum lagi, baru-baru ini saya juga dipanggil ke Mabes POLRI karena ditetapkan tersangka dengan tuduhan pencemaran nama baik,” keluhnya. Kemenangan dalam perkara perdata memang hanya hiburan sesaat bagi Winny karena dia juga harus menghadapi proses hukum pidana di Kepolisian. Selain itu, bersama pemilik kios lainnya, Winny juga tengah dalam proses sidang gugatan perdata terkait kejelasan status hak atas tanah ITC Mangga Dua.

Sementara itu, kuasa hukum Duta Pertiwi Mangapul Sitorus menolak berkomentar ketika ditemui seusai sidang. Aksi irit bicara juga ditunjukkan Mangapul ketika ditanya hukumonline, apakah akan mengajukan upaya hukum atas putusan majelis. “Kita lihat saja nanti ya,” ujarnya singkat.

Perkara lain

Di luar Winny cs, sebenarnya ada sekitar 15 orang lagi yang juga berseteru dengan Duta Pertiwi. Hanya saja, kelima belas orang ini lebih memilih untuk melapor ke polisi daripada membuat surat pembaca di media massa. Beda strategi tetapi sama nasib, semuanya digugat oleh Duta Pertiwi. Pada perkembangannya, tiga dari total 19 orang yang digugat menyerah dengan menandatangani akta perdamaian.

“Isinya (akta perdamaian, red.) sangat sepihak dan terkesan sewenang-wenang karena di situ disebutkan bahwa kita harus mengaku salah dan seolah-olah telah mengetahui bahwa tanah itu berstatus HPL sejak awal,” ujar Khoe Sengseng. “Makanya saya nolak,” tambahnya.

Dari 16 yang digugat Duta Pertiwi, tiga perkara termasuk Winny telah diputus oleh PN Jakarta Utara. Pada hari yang sama dengan putusan Winny, majelis juga mementahkan gugatan Duta Pertiwi terhadap Lina, salah satu pemilik kios yang hanya melapor ke polisi. Seperti halnya putusan Winny, majelis menyatakan Duta Pertiwi tidak memiliki kualifikasi hukum sebagai penggugat karena seharusnya yang mengajukan adalah Muktar Wijaya. Selain Winny dan Lina, Duta Pertiwi juga kalah dalam sidang gugatan perdata terhadap Handy Sunadi Tjung, juga pemilik kios.

(Rzk)


http://hukumonline.com/detail.asp?id=18885&cl=Berita

Tidak ada komentar:

Kontributor