Rabu, 14 Mei 2008

Moerdiono Tersandung Tanah Kemayoran?

Kasus kolusi dan korupsi di Badan Otorita Kemayoran, senilai Rp 100 miliar lebih, terbongkar. Terlibatkah mantan Mensesneg Moerdiono?
Edisi 16/03 - 20/Juni/1998


ANGIN reformasi terus bertiup. Hampir setiap hari ada saja yang berunjuk rasa di Kantor Kejaksaan Agung, di Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan. Aksi unjuk rasa itu, umumnya, menuntut pengusutan kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat-- terutama mantan Presiden Soeharto dan keluarganya--yang diduga hasil praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam kaitan inilah kehadiran Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di masa rezim Soeharto, di Kantor Kejaksaan Agung pada Kamis pagi, 11 Juni lalu, menarik perhatian wartawan. Mengenakan kemeja putih dan celana hitam, orang kepercayaan Soeharto itu datang mengendarai sedan Volvo. Tapi, begitu turun dari mobil, ia langsung masuk ke Gedung Bundar, sehingga para wartawan tak sempat bertanya.

Setelah dua jam kemudian, Moerdiono keluar. "Saya gembira memenuhi panggilan Kejaksaan Agung dalam reformasi ini. Saya datang ke sini sebagai saksi," ujar pengurus di sejumlah yayasan yang diketuai Soeharto itu saat dicegat wartawan.

Pengalihan Hak

Namun, kesaksian Moerdiono itu sama sekali tak berkaitan dengan soal pengusutan kekayaan Soeharto. Melainkan, menyangkut perkara korupsi dana pembangunan Kondominium Taman Kemayoran, Jakarta. Menurut Barman Zahir, Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung, Moerdiono diperiksa selama dua jam lebih. Pemeriksaan itu dipimpin langsung Kepala Pusat Operasi Intelijen Kejaksaan Agung, Sudibyo Saleh. Hasilnya, "Beliau (Moerdiono) mengaku tak tahu-menahu soal kasus tanah Kemayoran itu," ujar Barman.

Perkara yang menyeret Moerdiono itu memang berkaitan dengan tanah seluas 2,5 hektare di kawasan bekas Bandar Udara Kemayoran, yang menjadi tanggung jawabnya selaku Ketua Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK). Pada 1993, di atas tanah tersebut dibangun kondominium atau rumah susun untuk kalangan kelas menengah perkotaan. Proyek Kondominium Taman Kemayoran lumayan besar, terdiri dari enam menara dengan 676 kamar. Status proyek adalah usaha patungan BPKK dengan PT Duta Adhiputra. Berdasarkan perjanjian kerja sama yang diteken Hendro Cahyono Soemardjan (Ketua Badan Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran atau BP3KK) dan Seno Margono (Direktur Utama PT Duta Adhiputra) disepakati BP3KK menyediakan tanah seluas 2,5 hektare tadi sebagai modal penyertaan. Sebagai kompensasinya, BP3KK menguasai 15,5 persen saham Taman Kemayoran; sedangkan Seno akan menyerahkan uang kontan US$ 52 juta (Rp 90,9 miliar dalam kurs saat itu), yang dikompensasikan ke 84,5 persen saham.

Tapi, uang yang dijanjikan Seno tak kunjung disetor. Malah, ia mengalihkan hak guna bangunan (HGB) tanah negara itu atas nama PT Duta Adhiputra. Lalu, berdasarkan akta HGB itu, Seno mengagunkan tanah tersebut ke sindikasi bank yang dipimpin Bank PDFCI. Berkat agunan itulah PT Duta Adhipura memperoleh kucuran kredit sindikasi sebesar Rp 90,9 miliar. Dana tersebut kemudian dipakai untuk membangun Kondominium Taman Kemayoran.

Bisnis kondominium itu semula berjalan sukses. Di saat peluncuran saja, PT Duta Adhipura berhasil meraup uang sekitar Rp 26 miliar dari para calon pembeli. Hingga sekarang terhitung 90 persen kamar sudah terjual. BP3KK sendiri, menurut Direktur PT Duta Adhipura, Thonnius Max Wagannia, sudah kebagian untung.

Namun, kecurangan akhirnya tercium juga. Awal April lalu, Kejaksaan Agung memanggil Seno dan Hendro Cahyono untuk diperiksa. Pengalihan status tanah Kemayoran itu dinilai menyalahi klausul perjanjian kerja sama yang disepakati. Misalnya, di sertifikat yang dikeluarkan untuk tiap pembelian unit atau kamar kondominium tertera status tanah adalah HGB atas nama PT Duta Adhiputra. Padahal, dalam perjanjian kerja sama disepakati status tanah mestinya disebutkan milik BP3KK. Dengan begitu, "Negara telah dirugikan, kehilangan hak atas tanah tersebut," kata Barman Zahir.

Sejak awal pemeriksaan, Seno ditahan di sel Kejaksaan Agung. Tindakannya mengalihkan status tanah Kemayoran dinilai menyebabkan negara rugi ratusan miliar rupiah. Belakangan, setelah tiga kali diperiksa sebagai saksi, Hendro juga ditahan sebagai terdakwa. Ketua BP3KK itu dianggap telah melampui kewenangannya. "Tanggung jawab pemberian izin (pengalihan status tanah) sepenuhnya pada Hendro," ujar Barman tegas.

Secara resmi, penahanan Hendro sebagai tersangka dilakukan Kejaksaan Agung pada Jumat malam, 12 Juni 1998. Menurut sumber D&R di Kejaksaan Agung, putra kandung Selo Soemardjan, guru besar sosiologi di Universitas Indonesia, itu sebelumnya adalah pegawai negeri di Departemen Pekerjaan Umum. "Karena lobinya yang kuat di Sekertariat Negara, ia kemudian dipercaya sebagai Ketua BP3KK, yang mengelola Kompleks Kemayoran," tutur sumber D&R.

Akan halnya Moerdiono, untuk sementara, dinyatakan tak terlibat dalam perkara ini. Dalam kesaksiannya, seperti disebutkan di atas, ia menyatakan tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Hendro dan Seno.

Tapi, pengakuan Moerdiono itu segera ditepis Alamsyah Hanafiah, pengacara Seno. Menurut Alamsyah, proses pengalihan status tanah atau balik nama itu sudah diketahui dan seizin pimpinan BPKK. Itu tampak dari akta perubahan kerja sama, tertanggal 30 November 1994, yang dibuat notaris Helena Kuntoro.

Lagi pula, dalam berbagai surat keputusan yang dibuatnya, Moerdiono telah memberi mandat kepada Hendro untuk membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dengan PT Duta Adhiputra. "Mungkin, karena kesibukannya, Pak Moerdiono lupa kalau telah memberikan izin tersebut," kata Alamsyah.

Lebih jauh, Alamsyah menyoal kewenangan jaksa memeriksa kliennya. Pasalnya, kerja sama PT Duta Adhiputra dengan BP3KK merupakan hubungan perdata yang didasarkan pada akta perjanjian, yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. "Sampai saat ini belum ada laporan pihak yang dirugikan dari kerja sama tersebut," kata Alamsyah.

Lagi pula, selama ini Proyek Taman Kemayoran berjalan lancar. Pembangunan keseluruhan sudah hampir selesai, dengan tingkat penjualan bagus. Malah, pihak BP3KK juga sudah kecipratan untung. "Jadi, tidak ada unsur kerugian negara dalam kasus ini," ujar Alamsyah tegas. Karena itu, Alamsyah menilai tuduhan korupsi terhadap kliennya terkesan dipaksakan.

Kesulitan Modal

Kenapa begitu? Cerita mesti diurut ke belakang lagi. Sebelum di Kejaksaan Agung, selama tiga hari (28-30 Maret), Seno diperiksa Badan Koordinasi Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah Jakarta Raya, sehubungan laporan yang menyebutkan Seno mengelola kekayaan Edi Tansil dan Hendra Rahardja. Kebetulan Hendra, bos Bank Harapan Sentosa yang kini sedang buron, adalah mertua Seno.

Tapi, agaknya, hasil pemeriksaan tak cukup untuk menjerat Seno. Lalu, perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Di sini tuduhan terhadap Seno ternyata bertambah, yaitu melakukan tindak pidana korupsi dana pembangunan Kondominium Taman Kemayoran. "Tuduhan itu tidak benar. Sampai detik ini, Kejaksaan Agung belum bisa membuktikan tuduhan tersebut," kata Alamsyah.

Memang diakui, di awal pembangunan proyek, PT Duta Adhiputra sempat mengalami kesulitan modal. "Karena modal sendiri tak cukup, dicarilah kredit bank," kata Thonnius Max Wagannia. Setelah itu, PT Duta berhasil memenuhi semua kewajibannya ke BP3KK maupun bank.

Ke BP3KK, misalnya, telah diberikan uang Rp 9 miliar sebagai kompensasi penyertaan modal tanah. Juga diserahkan pembagian keuntungan dalam bentuk 30 unit kamar kondominium, senilai Rp 15,8 miliar. Rencananya, sisa pembayaran tanah (sebesar Rp 9,75 miliar) akan dicicil sesuai penerimaan uang dari konsumen. "Selain keuntungan finansial, BPKK/BP3KK juga memperoleh keuntungan immateriil. Karena, keberhasilan Proyek Taman Kemayoran, yang pertama kali dibangun di atas tanah Kemayoran, akan menjadi model bagi investor lain," ujar Thonnius.

Bisa jadi, hitung-hitungan itu benar. Tapi, jaksa tentunya punya pertimbangan lain untuk menyeret Seno dan Hendro ke pengadilan.

I.H./ Laporan Gatot Prihanto
Majalah D&R, 20 Juni 1998




Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Tidak ada komentar:

Kontributor