Rabu, 14 Mei 2008

Saling Sikat di Mangga Dua

[12/3/08]

Konflik penghuni Apartemen Mangga Dua Court dengan pengembangnya, PT Duta Pertiwi Tbk, makin memanas. Pakar hukum agraria, Boedi Harsono, dalam kesaksiannya di pengadilan mengatakan Badan Pertanahan Nasional harus bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat HGB murni.

Fifi Tanang mungkin sudah tak asing lagi di mata manajemen PT Duta Pertiwi Tbk, perusahaan properti milik taipan Eka Tjipta Wijaya yang sebagian besar menguasai tanah di daerah Mangga Dua, Jakarta Utara. Mungkin, Fifi yang menjabat Ketua Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Apartemen Mangga Dua Court (MDC), saat ini menjadi orang yang paling disegani oleh manajemen Duta Pertiwi, setelah ia membongkar kasus status hak atas tanah Apartemen MDC.

Akibat ulahnya, Fifi kini harus berurusan dengan polisi. Ia dilaporkan ke Mabes Polri lantaran mencemarkan nama baik Duta Pertiwi di sebuah media nasional. Selain itu, Fifi bersama dengan 16 pemilik kios ITC Mangga Dua harus berjibaku menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (lihat box). Sekedar informasi, hampir semua properti yang berada di kawasan Mangga Dua dikuasai oleh Duta Pertiwi, termasuk ITC Mangga Dua dan Apartemen MDC. Selain memiliki unit apartemen MDC, Fifi juga mempunyai kios di ITC Mangga Dua.

Namun, gugatan itu tak menyurutkan niat Fifi untuk memperkarakan Duta Pertiwi. Ia justru menggugat balik Duta Pertiwi di dua pengadilan sekaligus, yakni PN Jakarta Utara dan PN Jakarta Pusat.

Di PN Jakarta Pusat, sidang pekan lalu sudah memasuki acara mendengarkan keterangan ahli. Salah satu ahli yang didatangkan adalah pakar hukum agraria Boedi Harsono. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menyatakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mesti bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) murni Apartemen MDC.

Apalagi, lanjutnya, mustahil jika BPN tidak mengetahui status tanah itu dari awal saat dilakukan jual beli unit apartemen. Hal yang paling mudah untuk membuktikan status tanah suatu apartemen, kata Boedi, adalah mencocokkan sertifikatnya dengan buku tanah yang disimpan di BPN. "Jadi, nggak mungkin orang BPN tidak mengetahui tentang status tanah suatu bangunan," tegas pria yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini di hadapan majelis hakim, Selasa (4/3) pekan lalu.

Sebagai lembaga yang mengawasi ranah pertanahan di tanah air, sudah sepatutnya BPN juga bertindak mengawasi sengketa pertanahan yang kerap terjadi. Boedi mengatakan, dalam kasus ini pihak Duta Pertiwi patut dipersalahkan, karena sejak awal tidak menginformasikan status tanah Apartemen MDC kepada calon pembeli waktu itu. "Masyarakat tidak mengerti, makanya BPN, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) dan Duta Pertiwi seharusnya memberi tahu ke masyarakat," ujarnya.

Kasus ini berawal saat 147 pemegang unit setifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) yang tergabung dalam Perhimpunan Penghuni (Perhimni) MDC ingin memperpanjang HGB tanah bersama, bulan Maret 2006. Ketika itu BPN belum mengetahui bahwa tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas Hak Pengelolaan (HPL). Hal ini ditegaskan BPN dengan menerbitkan Surat Keterangan Status Tanah (SKST) tertanggal 24 Mei 2006.

Selain itu, BPN juga telah melakukan risalah pemeriksaan tanah (konstatering rapport) yang hasilnya tidak menyatakan tanah HPL. Sehingga, Perhimni MDC diwajibkan membayar uang pemasukan kepada negara total Rp289 juta. Anehnya, pada bulan Juli 2006, BPN menarik kembali pernyataan tersebut. Setelah diselidiki ulang, ternyata BPN baru mengetahui bahwa status tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas HPL atas nama Pemda DKI Jakarta (sekarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta). Akibatnya, sertifikat Apartemen MDC yang telah diberikan kepada Perhimni MDC dicoret dan dibatalkan.

Hal itu dilakukan BPN lantaran ditemukan dokumen surat perjanjian kerja sama antara R. Soeprapto (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) dengan Rachmat Sumengkar (Direktur Utama Duta Pertiwi waktu itu) yang mendapat persetujuan dari Komisaris Utama Duta Pertiwi, Eka Tjipta Widjaja. Perjanjian itu diteken pada tahun 1984.

Para pemilik unit apartemen pun menjadi berang. Mereka merasa ditipu oleh manajemen Duta Pertiwi. Pasalnya, pada saat membeli unit Apartemen MDC, Duta Pertiwi tidak pernah menginformasikan dan memberitahukan kepada calon pembeli bahwa tanah bersama Apartemen MDC adalah milik Pemprov DKI Jakarta. "Yang para pembeli tahu saat itu, status tanah adalah HGB murni. Kami ini ditipu," ujar Fifi kepada hukumonline.

Ia lantas menyodorkan beberapa dokumen yang kesemuanya memang tidak bertuliskan "HGB di atas HPL atas nama Pemda DKI Jakarta". Bukti itu antara lain: perjanjian pengikatan jual beli, akte jual beli dan sertifikat hak milik.

Tuduhan Fifi langsung dibantah kuasa hukum Duta Pertiwi, Zulfahmi. Menurut dia, tidak ada kekeliruan yang dilakukan kliennya ketika melakukan jual beli properti Apartemen MDC. "Duta Pertiwi sudah melakukan langkah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.

Box:
Berawal dari Surat Pembaca

Sial benar nasib Kwee Meng Luan. Ia bersama 16 pemilik kios di ITC Mangga Dua (termasuk Fifi Tanang) harus berurusan dengan pengadilan. Mereka masing-masing digugat telah melakukan pencemaran nama baik terhadap PT Duta Pertiwi Tbk. Perkara ini merupakan buntut dari perseteruan antara Duta Pertiwi dengan para pembeli properti di kawasan Mangga Dua, yang konon dikuasai oleh Grup Sinar Mas itu.

Sedianya, lanjutan sidang terhadap Winny – panggilan akrab Kwee Meng Luan – digelar Selasa (11/3) dengan acara pembacaan putusan. Namun, Majelis Hakim yang diketuai Unggul kembali menunda pembacaan putusan hingga 31 Maret 2008. Majelis hakim menginginkan pembacaan putusan dilakukan bersamaan dengan 16 tergugat lainnya. Penundaan putusan itu merupakan yang kedua kalinya.

Sekedar informasi, Duta Pertiwi awalnya menggugat 19 pemilik kios ITC Mangga Dua. Gugatan itu dilayangkan terhadap masing-masing pemilik kios dan tidak dijadikan dalam satu berkas gugatan. Dalam perjalanannya, tiga pemilik kios akhirnya bersedia damai dengan syarat yang ditentukan Duta Pertiwi.

Gugatan Duta Pertiwi ini bermula dari adanya surat pembaca yang ditulis Winny yang dimuat di Koran Suara Pembaruan, tanggal 3 Oktober 2006. Surat itu berjudul "Hati-hati Membeli Properti PT Duta Pertiwi". Atas tuduhan dalam surat pembaca itu, Duta Pertiwi merasa dicemarkan nama baiknya dan menggat perdata ke PN Jakarta Utara. Perusahaan properti milik konglomerat kawakan Eka Tjipta Widjaja ini, menuntut ganti rugi sebesar Rp11 miliar.

Awalnya, Winny menganggap surat pembaca itu sebagai bentuk keluhannya terhadap proses jual beli properti milik Duta Pertiwi yang terletak di ITC Mangga Dua. Dalam jual beli itu, Winny merasa dirugikan karena objek jual beli yang semula diinformasikan oleh Duta Pertiwi sebagai Hak Guna Usaha (HGU) ternyata dikemudian hari diketahui sebagai HGB yang berdiri di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Dalam perkara itu, kuasa hukum Winny dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sempat mengajukan saksi ahli yakni Bambang Harymurti dari Dewan Pers. Bambang dalam kesaksiannya menyatakan, pemimpin redaksi (pimred) yang memuat surat pembaca itu juga bertanggung jawab atas pemuatan surat pembaca yang dilayangkan Winny. Alasannya, pimred berhak untuk mengedit, menaikan maupun membuang ke tong sampah surat pembaca itu.

Disamping itu, kata Bambang, jika penggugat keberatan dengan surat pembaca, seharusnya penggugat menempuh hak jawab, hak koreksi dan atau mengadukannya ke Dewan Pers. Namun, langkah ini tidak pernah ditempuh oleh manajemen Duta Pertiwi.

Kepala Divisi Non Litigasi LBH Pers Muhammad Halim mengatakan Duta Pertiwi telah mengabaikan mekanisme penyelesaian sengketa pers seperti yang diatur dalam UU Pers. "Gugatan ini merupakan pembungkaman gaya baru oleh orang-orang yang berkuasa. Akibatnya, masyarakat akan takut untuk menulis surat pembaca," demikian Halim.

Ia menambahkan, kondisi itu membuat kemerdekaan pers semakin terbelenggu. "Pers kembali dipaksa bungkam dan melakukan self censorship yang berlebihan," tandasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Duta Pertiwi Edward Lontoh merasa yakin kliennya sudah benar dalam menempuh gugatan ini. "Kami yakin menang, karena posisi kami benar. Keyakinan kami didasarkan pada bukti-bukti yang sudah kami ajukan," tegas advokat Lontoh & Partners ini.

Rugi ratusan miliar

Sengketa hak atas tanah itu membuat rugi pemilik unit apartemen. Soalnya, kata Fifi, nilai bangunan per unit apartemen akan turun seiring dengan penurunan status tanahnya (menjadi tidak ada tanah).

Yang lebih tragis, jika apartemen itu berdiri di atas tanah pemprov, maka pemilik unit apartemen biasanya akan dibebankan biaya persetujuan atau rekomendasi setiap kali ingin melakukan perpanjangan HGB. Biaya itu konon bisa mencapai ratusan juta rupiah per unit apartemen. Permintaan persetujuan Pemprov DKI itu ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 40/1996. Beleid tersebut menyebutkan, HGB atas tanah HPL diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang HGB setelah mendapat persetujuan dari pemegang HPL.

Kerugian lainnya, kata Fifi adalah tidak ada jaminan dan kepastian hukum untuk menjaminkan sertifikat di atas HPL, sehingga bank enggan menerima sertifikat itu sebagai agunan. Lalu, katanya, jika terjadi force majeur, seperti kebakaran, maka hak dari para pemilik apartemen menjadi lenyap, karena sama sekali tidak ada alas hak atas ruang bangunan dalam sertifikat HGB yang berada di atas HPL Pemrov DKI Jakarta.

Namun, hal itu dibantah Boedi Harsono. Menurutnya, jika terjadi force majeur, para pemilik apartemen masih berhak atas sertifikat yang dimilikinya. Persoalannya adalah apakah perusahaan yang memelihara gedung itu membayar ganti rugi atau tidak kepada para pemilik unit apartemen yang memegang sertifikat.

Itu pula sebabnya, Fifi dan 146 pemilik unit apartemen lainnya mati-matian menggugat Duta Pertiwi ke pengadilan. Soalnya, sebagai pembeli yang merasa ditipu, mereka tidak mau menanggung resiko yang terjadi di kemudian hari, baik mengenai status tanah maupun biaya untuk Pemprov DKI Jakarta.

Dalam gugatannya di PN Jakarta Pusat, bukan hanya Duta Pertiwi yang digugat oleh Fifi, tapi juga ada empat pihak lain yang ikut menjadi tergugat. Keempat tergugat itu adalah Direktur Utama Duta Pertiwi Muktar Widjaja (anak Eka Tjipta Widjaja), Notaris dan PPAT Arikanti Natakusumah, Kepala BPN cq Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta cq Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Pusat, dan Gubernur DKI Jakarta cq Biro Perlengkapan Provinsi DKI Jakarta.

Fifi dalam gugatannya meminta agar para tergugat mengembalikan status hak kepemilikan semula yakni HGB murni kepada para pemilik unit Apartemen MDC. Selain itu, dia juga meminta ganti rugi materiil lebih dari Rp467 miliar, sebagai akibat hilangnya status kepemilikan tanah.







Mari dukung pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun!

Tidak ada komentar:

Kontributor